1/2
14
Budiman
3 Maret 2024
![]() |
| Oleh Budiman |
"Selamat datang di wilayah kekuasaan baju hitam, akulah rajanya, dan aku berhak menjadikan siapa saja jadi apa saja sekehendakku. Disini aku berhak menjadikanmu ratu yang aku banggakan atau bahkan bisa saja menjadikanmu karya seni terindah yang tidak pernah kamu bayangkan semasa hidupmu. Kalian tahu kenapa aku lebih memilih menikmati sepi dengan cara menulis?, itu karena aku ingin membalas semua perlakuan orang-orang yang sempat bertindak tidak mengenakkan terhadapku." Matahari kian terbenam, pancaran sinarnya memantul di laut menyajikan warna keemasan yang terlihat begitu indah, Baju Hitam sesekali melirik menikmati keindahan wajah perempuan yang berada tepat disampingnya itu. Tidak ada interaksi yang terjadi, mereka hanya saling berandai dihati dan pikiran. Memanfaatkan alam sebagai alat pengantar bahasa yang mereka rasakan, berperilaku seolah mereka itu adalah Alkemis. Mereka masih tetap duduk tanpa alas, menghadap kearah terbenamnya senja, menghirup udara bebas yang datangnya dari laut lepas, semua terasa bahwa seolah-olah alam merestui kebersamaan mereka. "Deh tegangta di" Tiba-tiba perkataan Marsya memecah suasana, "Oh iya di, hehe, " balas Baju Hitam dengan cepat. Kemudian mereka kembali untuk berusaha membuat suasana senatural mungkin, di kepala Baju Hitam tampak sulit menemukan ide untuk membuat suasana tidak terlalu tegang, ya memang begitulah adanya dan memang merupakan sebuah fakta bahwa jika kita diperhadapkan dengan lawan jenis yang kita sukai maka akan terasa sulit untuk meng sinkronkan pikiran keucapan untuk menjadi tindakan. "Tiada daya dan upaya melainkan atas pertolonganmu ya Tuhan" Ucap Baju Hitam membatin. Melawai, ya, ini adalah pantai melawai Areksa, aku memang sering mengunjungi tempat ini hanya sekedar berusaha menyakinkan diri bahwa aku sedang baik-baik saja, tapi kamu tahu, sungguh sejak detik awal pertemuan kita, dan itu artinya sejam yang lalu aku baru merasakan hidup kembali setelah kedatanganmu, kau adalah lelaki yang telah Tuhan takdirkan untuk bertugas memberi warna baru dihidupku. Aku ingin bertanya dengan serius dan aku berharap kamu menjawabku dengan jujur, apakah kamu siap mendengar pertanyaanku ini, Areksa? Dengan tegas namun lugas Marsya bertanya. Baju Hitam terlihat bingung dikarenakan harus menjawab pertanyaan yang kelihatannya membutuhkan jawaban yang agak sulit. "Bertanyalah, akan aku jawab jika aku mampu menjawabnya" Ucap Baju Hitam, "kau tahu, setelah kejadian yang tak mengenakkan menimpaku dulu, hingga sepersekian detik sebelum kedatanganmu, aku merasa begitu sulit untuk menerima kenyataan, aku lebih memilih untuk menutup diri dari dunia, aku merasa sepi ketika berada di kerumunan, banyak yang berusaha menghiburku namun pada akhirnya mereka tereliminasi dengan ketidak mampuan mereka sendiri. Hingga pada akhirnya kamu hadir dan mampu mengambil alih hati dan pikiranku, jadi apakah kamu siap dan sanggup menjagaku Areksa, apakah kamu bisa untuk selalu ada jika aku membutuhkanmu?" Pinta Marsya yang kembali mengheningkan suasan. Dunia seolah menginterupsi agar Baju Hitam memberikan jawaban yang tidak membuat Marsya kembali merasa hancur untuk yang kesekian kalinya. Baju Hitam tidak langsung menanggapi, ia butuh sedikit jeda agar dapat menjawabnya dengan bijak. Dengan berani dan penuh keyakinan Baju Hitam berkata, "jika segala sesuatunya yang kamu katakan itu benar dan kamu berharap agar aku menjadi bagian dari hidupmu, maka dengan setulus hati dan atas nama harga diri seorang lelaki, aku siap menjadi jawaban atas permintaanmu. Keadaan seolah kembali tidak tegang lagi, sesi tanya jawab itu telah meleburkan suasana dalam keadaan yang lebih natural. Mereka mulai semakin dekat dan akrab, senyum, tawa dan canda jadi mulai semakin sering terlihat, keceriaan di wajah Marsya jelas terlihat. Kehadiran Areksa versinya kini memberi warna baru dalam hidupnya. "Eh, Ngomong-ngomong kamu ada kenalan disini?" Tanya Marsya, "gak ada" Jawab Baju Hitam singkat, "bisa dibilang aku pergi dan tiba disini itu karena ada beberapa hal yang menurutku tidak dapat aku terima sewaktu di kampung," Baju Hitam menambahkan. karena lapar dan berhubung lagi pengen makan bakso, akhirnya aku memutuskan menuju Mas Tino, warung bakso andalan yang sangat terkenal se Kecamatan Polewali, pokoknya sangat rekomended untuk mengatasi rasa lapar. Jadi mas Tino itu memiliki dua anak, yang pertama Ayu, wajahnya cantik seperti namanya, yang kedua Wahyu. Nah, si Ayu itu kan dulunya sempat aku bangga-banggakan, ya wajar saja karna dulu bisa dibilang usia dan pemikiran kita masih bocil, yang mungkin level malunya masih sangat minim. Alhamdulillah akhirnya sudah kenyang, iya, kan udah makan, sedikit tambahan, bahwa Ayu itu sudah nikah dan memiliki satu anak. Baiklah, mari kita lanjutkan kisahnya karena sesi makannya telah selesai. Ternyata mereka memiliki satu kesamaan lagi, yaitu sama-sama memiliki beban atau masalah yang berat, sebuah masalah yang benar-benar hampir merenggut kewarasan mereka. Masalah yang sempat mereka tanggung akhirnya tinggal sebatas nama, kini yang ada hanyalah kebahagiaan, Kebahagiaan yang baru saja tercipta pada sepasang kekasih yang milih untuk saling memiliki dan melupakan masalalu. Warna keemasan pada pantulan sinar matahari di laut kini kian menggelap bertanda bahwa sebentar lagi akan malam. "Disekitar sini ada penginapan tidak, atau mungkin kos-kosan?" Tanya Baju Hitam, "nanti aku bantu carikan, geser yuk, kita cari makan dulu," Ajak Marsya. Sepanjang jalan Baju Hitam sangat menikmati suasana kota, lampu-lampu jalan dan gedung-gedung tinggi bersusun rapi memenuhi kota menyajikan pemandangan yang estetik, baginya itu sangat menarik, patung kuda putih, taman patung monyet dan masih banyak lagi keindahan-keindahan yang menakjubkan disepanjang jalan yang mereka lewati. Tibalah mereka disebuah cafe bernama 1/2 yang berada di atas puncak bukit, sebuah pilihan tempat yang sangat strategis. Dari atas tempat itu orang-orang bisa menikmati keindahan laut dan kota. Perasaan Baju Hitam dan Marsya kian menyatu, "selamat datang di cafe 1/2 kak" Ucap salah seorang pelayan menyambut kedatangan mereka. Keduanya memesan menu yang sama, menikmatinya di bagian teras lantai dua sembari menikmati keindahan kota dimalam hari, keindahan yang sungguh menggugah hati keduanya. "Areksa, tempat ini memang indah dan menarik bagiku, dan di tempat ini juga merupakan salah satu tempat favoritku disaat sedang ingin menikmati sepi selain pantai melawai, menurut kesan pertamamu, tempat ini bagaimana?" Tanya Marsya. "Sungguh sangat indah, tempatnya strategis berada di atas bukit, setiap pengunjung jadi dapat menikmati pemandangan yang indah, aku suka tempat ini, perasaan jadi terasa nyaman dan damai," Jawab Baju Hitam. Di cafe itu juga menyediakan berbagai buku bacaan yang menarik, tertata rapih dibeberapa sudut ruangan. Mata Areksa tertuju pada satu buku bersampul cokelat dengan gambar setangkai mawar yang berjudul Jejak, "cinta tidak akan pernah salah mengenali tuannya" Kutipan yang berada di sampul bagian depan novel itu berhasil mengalihkan kesadarannya hingga melupakan kebersamaannya dengan Marsya. Petualangan mengenai Jejak novel itu dimulai. Selalu ada titik baik di tengah kesusahan. Aku percaya itu ketika menoleh kekanan. Di sudut halte tak jauh tempat aku berdiri, ada seorang gadis dengan rambut pendek sebahu. Tampak jelas ia sedang menunggu. Lirikan mata ke jam tangan dan kearah jalan dilakukannya berkali-kali. Sesekali ia mengipas wajahnya dengan kertas yang ada di tangannya. Seperti aku, panas sedang menyengat tubuhnya. Wajahnya terlihat memesona meski hanya dari satu sisi. Ini anugrah! Seperti menemukan air di tengah sahara. Bila aku tiba-tiba memperhatikannya, itu pasti karena naluri kelaki-lakianku sedang bekerja lebih aktif. Wajahnya agak lonjong, hidungnya sederhana, tubuhnya cukup tinggi dan rambutnya yang pendek terpadu indah dan sempurna. Baju oblong putih berpadu dengan jaket berwarna cokelat dan celana jeans ketat menjadi pelengkap yang sempurna. Kombinasi yang sangat mudah dikagumi oleh lelaki pemuja keindahan sepertiku. Tatapanku berhenti di bibirnya. Hei! bibir itu seperti aku kenal. Aku mengkerutkan kening dan menjelajahi ceruk pikiranku sedalam-dalamnya. Mencari kemungkinan ada data tentang bibirnya di dalam ingatanku. Lalu, bayangan gadis berbaju keraton dalam mimpi tadi kembali muncul. Samar-samar aku merasakan kemiripan dengan gadis itu. Aku terpana namun dengan cepat menepuk jidat. Mana mungkin? Otakku pasti sedang kacau. Beberapa sarafnya sedang saling silang hingga refleksi yang muncul menjadi acak. Mana mungkin wajah gadis ini mirip dengan perempuan dalam impianku. Bukankah tadi wajahnya sangat buram. "Areksa, Areksa, heiiii" Tidak sadar namanya beberapa kali disebut, akhirnya Marsya menepuk-menepuk tangan Areksa ketika ia merasa terlalu lama diabaikan, "oh iya maaf, novel ini rasa-rasanya memiliki ruh, aku jadi terbawa suasana, rasanya aku seolah terbawa dan larut dalam ceritanya, entah mengapa seolah akulah laki-laki pemeran utuma dalam kisah ini" Jelasnya sambil menunjukkan Novel itu. "Dari perpaduan keseluruhan sampulnya memang terlihat sangat sakral sih, menarik memang. Ada sensasi yang berbeda ketika menyentuhnya. Aku juga merasakan hal yang agak lain dengan Novel yang kamu baca ini," cerotos Marsya mengakhiri cerita kali ini. Bersambung Penulis: Budiman |
