Kembali

Catatan Yang Tak Ingin Pulang

101
Mustakim
15 Juli 2025

Oleh Mustakim

        Ini dimulai sejak tahun-tahun yang entah mengendap bagaimana di sudut waktu. Keinginan itu tak pernah benar-benar padam, ia perlahan menuju sebuah kota yang pada tahun ini, akhirnya bisa kutapaki. Pikiran demi pikiran kulintasi seperti anak-anak tangga yang mengantarku perlahan menuju sebuah perjalanan lama yang kusebut indah.

        Keputusan untuk berangkat bukan sekadar keberanian. Melainkan semacam bisikan lembut dari masa silam, dan di ujung langkah itu, ada seseorang. Seseorang yang tak sekadar manusia, melainkan penunjuk arah dalam perjalanan panjang yang masih samar ujungnya. Kota ini kusebut Kota Pelangi. Karena di sini, warna-warna bertabrakan, berjejal seperti suara-suara yang tak ingin diam. Ada masyarakat intelektual berbicara dengan nada tinggi, dan ada juga yang disebutnya manusia-manusia primitif.

        Pada hari pertamaku di sini, seseorang berkata dengan dingin, “Masyarakat di kota ini tak seindah pelangi yang kau bayangkan. Di balik warnanya, tersembunyi berjuta wajah bodoh yang menyamar jadi bayangan.” Namun aku memilih percaya pada pandanganku sendiri. Di pagi hari, sinar matahari menepuk-nepuk jendela kamarku. Aku memulai petualangan— mencari sesuatu yang kusebut sebagai aksara ilmu. Aku menelusuri jalan-jalan yang asing, yang tak pernah kutahu akan ke mana membawaku. Modalku hanya satu, percaya.

        Terutama pada ia, manusia yang entah mengapa kupilih sebagai kepercayaan. Di tengah belokan sunyi yang kami lewati, aku melihat sebuah bangunan yang anehnya terasa begitu akrab. Mungkin karena aku pernah memimpikannya, atau mungkin karena ia pernah menjadi bagian dari masa depan yang diam-diam kusebut masa lalu. Aku berjanji suatu hari, akan masuk dan menjelajahinya. Entah kapan, namun itu adalah sebuah harapan.

        Di perjalanan berikutnya, langit kota dipenuhi burung mesin, melintas tenang di atas cakrawala seperti mimpi yang tak sudi jatuh. Hanya aku yang memandangi mereka penuh takjub. Orang-orang di sini sibuk menatap layar, berjalan cepat, mengejar sesuatu yang tak bisa mereka sebutkan. Apakah hanya aku yang bertanya bagaimana burung itu bisa menarisetenang itu di atas awan? Ataukah memang orang-orang sudah terbiasa melihat burung mesin itu tanpa menanyakan, “bagaimana bisa?” Entahlah mungkin dikemudian hari aku bisa mengetahuinya.

        Hari demi hari kulalui, buku demi buku kutelusuri, ilmu demi ilmu kuterima. Dan perlahan, aku sadar bukan dunia yang menolakmu. Hanya kamu yang menolaknya. Hanya kamu yang memilih diam. Lalu tiba-tiba saja ia berkata, “Semakin dewasa, kamu akan semakin kesepian.” Itu dasarnya membuatku bertanya-tanya dalam hati, “lalu, bagaimana agar tidak kesepian?” Barangkali jawabannya adalah mencari teman baru. Tapi di balik itu, aku tahu ada masa lalu yang belum rela kulepaskan. Dan memang begitu adanya. Kini aku sendiri, sebab yang lainnya telah pergi, sibuk dengan semestanya masing-masing.

        Diperhentian selanjutnya, Ada sesuatu di kota ini yang membuatku tak mampu meninggalkannya. Tak bisa kusebutkan, tak bisa kupahami sepenuhnya. Tapi rasanya nyata. Aku tak ingin pulang. Ketika kulihat senja di kota ini yang begitu indah menghujam mataku, lalu hujannya bersuara seperti melodi tua yang akrab, dan danau itu seperti menyuruhku bertahan sedikit lebih lama.

        Di lantai tiga perpustakaan, aku duduk membaca di antara gerombolan wajah asing dan buku-buku yang mencuri logikaku. Ketika azan memanggil, aku menutup buku dan berjalan menuju tempat ibadah, ditemani gerimis kecil dan khayalan tentang dunia yang sedang kacau. Tapi lalu kutanya, “untuk apa aku memikirkannya? Pada akhirnya, aku harus pulang.” Saat kaki ini mulai melangkah kembali ke tanah kelahiran, tak sanggup kutahan sedih yang diamdiam merengkuhku. Harapan yang panjang serasa pupus, atau mungkin waktunya memang sudah habis. Tapi rasa cintaku pada kota ini tetap tinggal.

        Aku pulang bukan karena ingin, tapi karena harus. Ada sesuatu yang menunggu, tanggung jawab yang menempel seperti bayangan, yang akan terus ada sampai mati menjadi saksi. Terima kasih, atas perhatianmu sejak hari pertama aku tiba, sampai akhirnya aku pergi. Kau tetap menjadi seseorang yang berarti. Meski aku telah kembali, sebagian diriku akan tetap tinggal di kota ini.

Penulis: Mustakim