Indah: Antara Mitos dan Luka yang Menjadi Nyata
Namaku Budiman, bangga jika disapa Baju Hitam. Sebuah nama pena yang kulekatkan sejak beberapa tahun yang lalu. Aku bangga, namun rasanya jauh lebih membanggakan kerena kehadiran sosok perempuan yang bernama Indah Annisa. Perempuan yang menyebabkanku menjadi gila pada akhirnya.
Rasanya sudah tidak ada lagi kisah yang menarik tanpa melibatkan namanya. Dia Indah kekasihku, perempuan yang sudah berkali-kali menamparku dengan kata-kata. Namun aku memaknai itu sebagai bahasa cintanya terhadapku sangat ironi saat aku mencintai kemustahilan dengan begitu brutal tanpa memikirkan kesehatan fisik dan mental. Demikian, bagaimana mungkin orang lain tidak menganggapku tolol.
Kemana dan dimanapun aku berada, aku akan selalu mengisahkan bagaimana keindahan Indah, bagaimana dia telah menjebakku hingga tak lagi melihat selainnya. Di tongkrongan Toksik Tomaka misalkan, dia yang bernama Indah kekasihku sudah tidak asing lagi ditelinga pendengar setiaku. Sungguh nama Indah telah identik dengan Baju Hitam. Setiap kalinya akan ku ekspresikan dengan begitu bangga ketika memulai berkisah tentangnya.
Awalnya biasa-biasa saja, tidak ada hal menarik dimata dan telinga mereka untuk mengulik siapa Indah. Hingga pada akhirnya, mereka mulai penasaran dan tertarik bagaimana sosok Indah yang ketika kukisahkan begitu melangit, yang terlihat seolah-olah membuatku melayang lalu menari-nari di udara, yang membuatku berkisah seolah-olah berada di atas panggung pementasan teater.
Kata mereka "tunggu-tunggu” sambil terlihat tercengang, lalu mengetuk-ngetuk kepala menggunakan jari telunjuk dan berkata, “kau ini Budi, berkisah seolah-olah Indah itu adalah fakta, padahal sebenarnya dia itu fiksi, betulkan?" Aku hanya tersenyum melihat mereka dan bertingkah seakan abai tentang apa yang barusan mereka katakan (mereka yang kumaksud memang anak Toksik Tomaka,) lekas aku berdiri dan berkata.
"kalian lihat!"
Kulentangkan kedua tanganku, lalu menggerakkan tangan menunjuk seluruh tubuhkan dan berputar, kemudian kukatakan, "bagian mana lagi yang tersisa dari luka?," Mereka setidaknya terdiam selama kurang lebih 10 detik. Hingga celetukan mulai terdengar begitu bersorak dan riuh.
"Waw, gila, sial, sedih, separah itu kah?, sakit we, bisamu begitu di? tidak bisaka saya begitu…" Kata serta ekspresi yang mereka keluarkan begitu sangat menakjubkan, sesaat ucapan itu keluar dari mulut seorang pecinta setia yang memilih ugal-ugalan ini. Ya, harus aku akui sakit tidak lagi dapat kurasakan- pun tidak lagi mengerti apa itu luka.
Kukatakan dengan posisi masih berdiri, "segala sesuatu itu tercipta berpasangan. Hitam dan putih, perempuan dan laki-laki, langit dan bumi, surga dan neraka, malaikat dan iblis, dan seterusnya. Tapi dalam hal ini, aku melakukan pengklaiman bahwa Dia Indah sudah menjadi takdirku sejak masih berada di alam ruh."
"Eh kak Budi kenapa bisa begitu? Bukannya itu terlalu memaksa ya?" Kata NU Garis Sastra.
Nama aslinya Nurul Qhofifa. Namun waktu itu, entah mengapa tiba-tiba saja terbersit di kepalaku untuk menamainya NU Garis Sastra. Sebanarnya itu hal wajar, NU memang ahli dalam hal sastra, kemampuan yang dimilikinya ketika mengolah kata menjadi kalimat indah begitu sulit dan sukar kupahami. Namun ketika membaca karya-karyanya, kok rasanya seolah-olah aku hanyut di dalamnya gitu.
Kira-kira seperti itulah ketika aku mencoba mendeskripsikan NU Garis Sastra kepada kalian. Ah, mari kita kembali ke situasi saat ini. "kak Baju Hitam, ada betulkah itu Indah Annisa, penasaranku we, jangan sampai fiksi betulji," Dia berucap sembari memegangi kepalanya dengan kedua tangan lalu tiba-tiba saja, “ahhhhh bingungku, kayak nyata betulji juga.” Daus dengan nama pena Musafir memecah keheningan yang ku ciptakan.
"Nah, inimi, inimi yang menjadi pertanyaan besarku juga, itu Indah Annisa fiksi atau memang betul-betul ada," Sangat ekspresif rupanya Musafir dengan rasa penasarannya itu yang tiba-tiba memukul meja milik Sinar.
Masih belum menjawab pertanyaan dari keduanya, aku lalu duduk dan mereka memperhatikanku tanpa melirik dan berkedip sama sekali. Kataku, "Dia Indah Kekasihku- Perempuan yang belum sempat kumiliki seutuhnya. Dia luka sekaligus obat bagiku, tak lagi aku mengerti apa itu cinta. Namun satu hal yang perlu kalian pahami, aku selalu memikirkannya, hanya dia, dia dan dia."
“Beh dalamnya, kauji memang teman, huffff…”ucap Khim dengan nama pena Khimkong. Terlihat bagaimana suasana begitu hidup ketika kukisahkan sosok Indah.
"Dia Indah, ruh yang telah menggerakkanku. Dia yang kujadikan energi bagi seluruh tubuhku, dialah muara yang kutuju, dialah langit yang telah membebaskanku, dialah panas yang telah meleburkanku, dialah dingin yang telah membekukanku. Lalu apa lagi, apa lagi yang dapat mewakilinya? bahkan kata pun begitu miskin untuk mendeskripsikan perasaan ini." Kataku yang lagi-lagi berhasil menusuk sampai ke jantung mereka.
Rasa penasaran kian menghantui mereka akan sosok Indah Annisa, betulkah bahwa Indah memang nyata adanya ataukah hanya sebatas fiksi yang kemudian dibungkus seolah-olah fakta. Mungkin dengan kata lain, apakah Indah itu fiksi yang fakta? Ah, rasanya sungguh bahagia melihat tongkrongan toksik ini begitu hidup. Untuk Dia Indah kekasihku, jadilah energi yang menghidupkan kami yang kerlap kerlip dan hampir padam ini.
Aduh, hampir saja ku lupa menyebutkan beberapa orang lagi yang penting. Namanya Fadil senior wibu dan Rian rubikon si junior wibu. Mereka juga terlihat begitu menikmati cerita yang entah mitos atau faktu itu. Kata Fadil, "kalau saya menyimak kisah kak Baju Hitam dari kemarin-kemarin atau sejak awal dia mengisahkan tentang sosok Indah Annisa. Justru saya berfikir bahwa Indah Annisa itu adalah Tuhan, hanya saja dikemas menjadi sosok perempuan. Coba kita pahami, kak Baju Hitam selalu mengarahkan kita kepada kesadaran spiritual, begitukah atau saya salah?”
Ucapan Fadil yang dalam itu mengharuskan mereka menghadirkan kembali ingatan tentang perkataan-perkataanku pada pertemuan yang telah lalu. "Nah-nah, kayaknya memang begitu," Rian menambahkan dengan gaya ciri khasnya yang menaruh tangan di dagu. "Bahkan aku begitu mencintai pisau yang telah digunakannya untuk melukaiku, apa lagi?" tambahku lalu tersenyum.
"Sungguh, jikapun ada yang mampu mengabulkan permohonan untuk memberiku pilihan, antara mampu memiliki Indah Annisa atau dunia dan seisinya, (dunia yang Indah tak disertakan di dalamnya) maka sungguh aku akan memilih Indah. Buat apa memiliki dunia jika aku tidak bahagia?" Kataku yang kembali mencairkan suasana, "uwwww dalam sekali bosku," Ucap Khim guru honorer gaji horor.
Tanpa terduga dan sangat tiba-tiba, datanglah dua orang yang bukan anggota tomaka. Rupanya mereka merupakan teman Sinar si pemilik kopi no lelet. Tidak butuh waktu lama untuk mereka ikut nimbrung hingga terjebak pada cerita Indah yang kukisahkan. Panjangnya cerita yang telah kukisahkan membuat mereka juga larut dan bingung, "siapa itu Indah? jadi penasaranka juga kak" Kata dia si baju kuning kecoklatan (tidak tahu warna jelasnya, semcam itulah). Sedang, yang satu berwarna hitam, matanya begitu fokus sambil tersenyum tipis-tipis.
"Jatuh cintalah maka kalian akan mengerti. Sungguh aku sangat menikmati luka yang dibuatnya hingga aku menolak untuk sembuh. Sungguh dilukai olehnya begitu candu," Kataku lagi yang memancing baju warna aneh itu untuk bertanya, "maaf kak, justru bingungka bagaimana cara menikmati luka, bisakah orang bahagia dengan luka?" Sederhana saja aku menjawabnya, "jika itu luka darinya, maka akan kunikmati."
"Sial" Umpatan spontan Musafir dan didukung oleh Nu Garis Sastra begitu keras, "Ya, apa arti sakit bagiku yang telah mati rasa? apa arti cacian bagiku yang telah tuli, apa, apa lagi." Sesekali percakapan harus terhenti karena ada pelanggan kopi no lelet selain itu aku juga harus tetap membakar rokok yang begitu setia menjadi pemantik untuk melahirkan ide-ide yang di luar Nurlia, bukan lagi di luar nalar atau Nurul.
"Susah sekalika saya begitu, susahka kayak kau," ucap Khim melirikku dan diikuti oleh yang lain, “tapi ada to saya puisiku tentang kekasihku e, dengari coba a.”
Dulu, bibirmu yang manis bercumbu di bibirku yang pahit...
Namun pada akhirnya, bibir manismu tak lagi manis...
Sebab manisnya telah bercumbu dibibir yang lain...
Puisi by khimkong
“Waw, sederhana namun begitu mendalam. Sesakit itu kah, lantas bagaimana kamu sembuh setelah usai darinya?" tanyaku sambil mengelus pundaknya. Dia Khim, merupakan sahabatku sejak SMP, yang kupahami darinya adalah dia laki-laki setia, baik, tidak enakan, ahli matematika, sederhana namun tidak dengan pemikirannya. Katanya, "sejak saat itu, tidak mauma lagi bodoh dalam urusan percintaan,"
“Saya lebih ke yang rasional saja. Tidak berlebih-lebihan, jalani saja, tapi sampai sekarang belumpi ada penggantinya. Adaji yang mau tapi belumpa siap untuk menerima yang baru."
"Oh, masih belum selesai k dengan masa lalu. Cocokmi itu, jangan menerima yang baru jika yang lama masih belum selesai, takutnya kamu melukai yang baru sih," kataku yang sok mengerti padahal sama-sama pernah berada diposisi yang sama.
"Ya ya, cocokmi ini, jam begini pasmi untuk pembacaan karya," ucapku saat melihat jam sudah menunjukkan pukul 00.02 WITA. Belum juga ada yang memulai untuk membacakan karya, video call dari dunia lain masuk membuat seluruh mata yang ada begitu terfokus pada layar handphone ku yang kuletakkan di atas meja. Rupanya, psan dari Dia kekasihku, Indah Annisa. Sangat agresif, mereka terlihat bak cacing kepanasan, lucu ah, ya begitu aja sih.
***
Musafir yang tepat berada di samping kananku melihat dengan begitu jelas wajah perempuan yang seketika meruntuhkan keraguan mereka tentang kemitosan Indah Annisa. Iya, kami memang sedang melepas rindu setelah hampir 2500 tahun mengalami keterpisahan. Jago sekali memang kalau ada darah vampir ta, bisa hidup ratusan tahun, hehe. "Nah, hmmmm, bilang memangka, percaya maka kalau bukan fiksi," Kata Musafir begitu antusias.
Senyum merekah pada wajahku, disaksikan oleh mereka dan berkata. “cie, liatmi bahagia sekali itu pasti karna meleburmi sama sang kekasih.” Tidak peduli, aku berdiri dari tempatku duduk agak sedikit menjaga jarak tentunya aku tak ingin jika mereka melihat kekasihku sedang tidak menutupi mahkotanya. Sungguh Dia begitu Indah, bahagia sekali perasaanku, rasanya tidak ingin jika ada kata akhir dari Dia.
Kukatakan pada Indah bahwa teman-teman dari tomaka menantikan kedatangannya di tanah Mandar. Tempat di mana nama Indah begitu disanjung, begitu dilangitkan, begitu diratukan, nama yang akan selalu merdu ketika disyairkan.
"Sampaikan salamku sama teman-teman disitu Budiman," tidak apa jika percakapan diakhiri asal Indah yang melakukannya. Kalimat penutup yang untuk percakapan singkat namun begitu berarti bagiku. Haaaa, bahagia sekali rasanya, alhamdulillah.
Tidak membuang waktu lagi, aku kembali bergabung duduk bersama mereka. Fadil dan NU Garis Sastra terlihat sedang adu strategi untuk saling membunuh. Sekilas ku lihat ada kekalahan telak yang terjadi, banyak prajurit Fadil yang terbunuh. "Saya lagi yang lawan Nunu e," Kataku pada Fadil yang langsung bergeser setelah kekalahannya tadi. Kami menyusun semua bidak catur dengan baik. Namun, entah mengapa aku dan Nunu tiba-tiba beralih untuk membahas syair-syair yang kami buat. Nunu memperlihatkan karyanya, namun setelah selesai membacanya aku tidak bisa memahami seutuhnya.
Seperti kataku sebelumnya bahwa NU Garis Sastra memang ahli dalam sastra, gaya penulisnya begitu rumit di kepalaku, ibarat mendaki gunung, menyusuri lembah, lalu menyelami samudera, ah, sungguh begitu rumit. "Tunggu, jika saya mencoba memahami, apakah ini adalah ungkapan perasaanmu yang patah?"
"Bukan kak, bukan tentang rasa sakit karena lawan jenis, cuman lebih kepada, ya..., begitulah, intinya bukan ke lawan jenis." Ujarnya yang berusaha membuatku paham.
Terlepas dari kisah yang tersurat itu, justru aku melihat dan merasakan ada keanehan diantara mataku yang sedang berusaha mengamati situasi yang terjadi (aku hanya berusaha menciptakan teori kecocokan saja semenjak waktu itu (waktu yang agak lampau) hingga pada detik-detik jawaban itu benar-benar kudapatkan,) "aih, sudami dulu pale kak, mauma balik," Ujar NU dengan senyuman yang entah itu asli atau palsu sambil menuju motornya.
Penulis: Baju Hitam