Jalan Pulang
57
Nurul Pratiwi
31 Mei 2025
Udara di dalam mobil travel sore itu terasa hangat, meski AC bekerja cukup keras untuk menetralisir panas dari luar. Jalanan di pusat kota Makassar dan kemacetan yang sering terjadi membuat penumpang bosan untuk menunggu di tengah perjalanan. Di kursi tengah, tiga perempuan duduk bersebelahan. Kami bertiga belum mengenal satu sama lain, namun sore itu kami dipertemukan dan saling mengenal dalam perjalanan pulang ke kampung halaman.
Aku duduk di pinggir sisi kiri, menatap keluar dengan perasaan nostalgia di kota Makassar walaupun hanya memandang gedung-gedung dan hiruk pikuknya aku selalu merasa senang jika berada di kota ini. Di bagian tengah ada Dinda yang umurnya lebih muda dariku tapi kami masih sama-sama generasi Z sedang scroll-scroll sosmednya, dan paling ujung ada Kak Ayu generasi Y, yang sedang membuka bungkusan camilan dari tas ranselnya.
“Makan ki biskuit dek.” Kak Ayu menawarkan camilannya kepada kami, aku dan Dinda mengangguk “Iyee.. kak.”
“Lumayan lamaki juga di jalan.” keluh Dinda sambil mengelus punggungnya.
“Sore hari memang selalu begini toh karena jam pulang kerja” jawabku. “Iya kak, beda di kampung kalau menjelang sore mulaimi gelap”. Sahut Dinda yang sedikit sarkas diiringi tawanya.
Seketika kak Ayu pun nimbrung “iya di, kurasa dari kecilka sampai sekarang masih gelap”
Akupun menanyakan pada mereka di mana tempat tinggalnya dan apa keperluan mereka di kota Makassar saat itu. Ternyata mereka juga lahir dan besar di kampung yang sama dan telah menempuh pendidikan di kota Makassar. Dinda merupakan alumni PPG Prajabatan Unismuh dan ke kota Makassar untuk mengikuti tes P3K. Sementara Kak Ayu adalah seorang Dosen tetap di perguruan tinggi negeri di Makassar.
“Oh alumni PPG Prajab ki juga, jadi dimana formasi yang dipilih ? ” Tanyaku pada Dinda
“iye kak, Saya kupilih Kalimantan di kota Paser kak. Kita kak ?”
“Kalau saya tetap ji di Kampung/Pemkab tapi begitumi sedikit formasi.”
“Saya pilih ka di Kalimantan kak karena habis formasi ditahap 1, sistemnya p3k tahun 2024 ini kan Honorer Prioritas Kak.”
“Iya betul sistemnya begitu, kalau saya sendiri pilih di kampung karena mau temani orang tua, dari dulu juga niatku kembali ka ke kampung mengajar.”
“Kalau saya justru disuruh ka sama mamaku keluar kota saja karena dia bilang susah kalau dikampung, kecewa terus jaki nanti.”
“Kecewa kenapa memang ?”
“Pengalaman mi kak mamaku, dia itu honorer staff kak di sekolah sudah belasan tahun honor tapi selalu kalah dengan honorer baru yang biasa na bilang orang siluman ee. Baru ta sedikit juga formasinya, sekarang berhenti mi mamaku honor tidak sanggup mi juga ikut tes.”
“Iya, ada beberapa memang oknum-oknum yang ambil kesempatan di momen pendafataran P3k. Rasanya tidak adil memang kalau honorer yang belum cukup 2 tahun terdata didapodik tapi bisa ikut tes.”
Kak Ayu mendengar obrolan kami pun ikut bersuara
“Seleksi ASN kali ini memang seamburadul itu di, sampai ada tahap 2”. Timpal Kak Ayu. “Tapi sayang tidak terakomodir dengan baik. Padahal awalnya P3k dibuka untuk honorer yang sudah lama mengabdi, kenapa jadi keterusan sampai sekarang? biar yang tidak cukup masa pengabdiannya ikut juga, mana mi lulusan PPG prajab jadi Prioritas terakhir. Aturan sebelumnya ini aduh mengecewakan, tambah lagi yang sekarang tidak worth it.”
“Seharusnya sih yang sudah tua dan lama mengabdi yang ikut P3K, kalau yang masih muda-muda atau yang belum cukup 2 tahun mengabdi dibukakan formasi CPNS saja, biar kita bersaing secara fair toh tidak tumpang tindih.” Jawabku memberikan sedikit pandangan.
“Iya, sudah jelas itu aturan perundang-undangan kualifikasi akademik guru, minimal D-IV atau S1 atau Sertifikat Pendidik. Tapi semenjak ada p3k justru membuka peluang yang punya ordal berbondong-bondong mau masuk dapodik biar belum lulus kuliah, biar tidak datang mengabdi ada tong namanya di dapodik! Kenapa kurasa kayak dipermainkan sekali jenjang karirnya anak-anak pendidikan.” Timpal Kak Ayu yang begitu kesal
“Betul itu kak, PPG angkatan tahun sebelumnya masih banyak yang belum terserap jadi ASN malah menambah pengangguran berserdik kak.” Timpal Dinda
“Seandainya itu serdik bisa digadai di, bisa maki mungkin pakai jadi modal usaha”. Jawabku yang di sambut tawa seluruh penumpang dan supir yang ikut menyimak percakapan kami.
“Berapa memang formasi di Pemkab kah atau Pemprov ? ” Tanya Kak ayu
“Sedikit sekali kak, Pemda atau Pemprov tidak sanggup mungkin gaji pegawai.”
Kak Ayu mengangguk, “Kampung ta sepertinya tertinggal di. Na biar formasi sedikit, tidak maju-maju. Tapi tiap kali pemilu, baliho besar-besar ji. Janji pembangunan, janji perubahan. Begitu menang, hilang semua mi.”
Kami semua tertawa kecil, tapi terdengar getir. Selama setengah jam lebih mengobrol, akhirnya supir berhasil juga melewati kemacetan dan kami pun terus mengobrol selama perjalanan.
“Sebenarnya banyak yang bikin kecewa, sempat dulu ada temanku juga yang mau jadi honorer (instansi tidak disebutkan) tapi susah sekali diterima. Yang diterima itu orang-orang terdekatnya ji mereka. ”
“Iya Kak,” Kata Dinda. Kurasa juga begitu, serba orang dalam pi kak baru bisa.”
“Tapi serius ya,” tambah Ka Ayu. “Saya dulu lanjutka S2 cuma karena capek juga tinggal tidak ada dikerja, mauka honor tidak ada orang dalamku lebih kupilih mengajar di Makassar.”
“Saya lebih parah kak,” Kata ku sambil membuka freshcare. “Dulu pernah ka mau honor di salah satu sekolah, pas wawancara ditanya: ‘Keluarganyaki siapa yang mengajar disini?’ Ya ampun, ku kira mi itu tes DNA.”
“hahhahah begitulah realita yang terjadi di daerah ta, dari dulu seperti itu, mungkin bisa saja berubah kalau pemimpinnya juga sadar.”
“Selain pemimpinnya masyarakatnya juga perlu sadar kak, mau sampai kapan andalkan orang dalam atau sanak keluarga”
“Betul itu kak, dan rata-rata sama semua ji kayaknya ceritanya orang-orang selalu dikecewakan, jadi na pilih cari kehidupan layak di luar daerah.”
Sejam kemudian Mobil berhenti sejenak di kota Maros tepatnya toko oleh-oleh untuk istirahat. Supir turun merokok, penumpang lainnya berhamburan keluar untuk membeli oleh-oleh atau sekadar meluruskan kaki. Setelah membeli oleh-oleh kami semua beranjak kembali mobil.
“Tidak sakit ji kepalata om Aco dengarki cerita ?” Tanyaku pada supir.
“Iyoo, ededeh kau semua kalau baku dapat mko sama perempuan tidak habis-habis ceritamu.”
Aku tertawa mendengar celotehnya saat berjalan ke arah mobil. Seluruh penumpang sudah ada, supir kemudian tancap gas melanjutkan perajalanan.
“Mauko semua makan apa? ” Tanya supir
“Makan Ikan bakar atau Ayam saja om.” Jawabku
“Iya om, tapi warung yang enak nah.” Pinta Dinda
“Okee, nanti singgah di Pangkep tapi berhenti-berhenti mako dulu cerita. Nanti pi lagi lanjut di warung”
“ahahahah”. Semua tertawa, kemudian sibuk dengan handphone masing-masing. Hingga pukul 20.20 mobil tiba diwarung makan. Kami bertiga ingin memesan Ikan bakar tapi sayang yang tersisa hanya Ikan besar. Kami merasa tidak mampu menghabiskannya, sehingga memilih ayam goreng saja. Secara tidak sengaja kami bertiga semeja lagi, rasanya nyaman mengobrol sambil menikmati makan malam bersama.
“Kuingat sekali waktu kecil,” ujar Kak Ayu pelan, “kampung ta itu ramai. Ada pertunjukan rakyat setiap pesta rakyat, dan orang-orang saling bantu. Sekarang agak berkurang toh di beberapa tempat? Banyak rumah kosong. Anak muda pergi semua.”
“Karena di kampung ta tidak ada masa depan, Kak” jawab Dinda. “kulihat teman-temanku, setelah lulus SMA atau kuliah, bingung mau apa. Mau tani, lahannya makin sedikit. Mau dagang, pasar sepi. Mau kerja kantoran, ya mana ada?. Banyak juga yang pilih pergi ke Morowali kak. Makanya saya kucoba mi juga ini daftar di Kalimantan. Tapi haruskah semua pindah sejauh itu untuk hidup layak? ”
“Iya banyak yang pindah karena kampung ta tidak nakasihki kesempatan berkembang,” kata Kak Ayu tegas. “Bukan cuma soal ekonomi. Tapi juga soal mental. Pemerintah daerah ta terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Tidak ada program jangka panjang yang benar-benar dijalankan.”
“Iya kenyataan itu kak, belum lagi sampah dimana-mana. Masyarakat buang sampah sembarangan, kurang juga penerangannya. ” Timpal Dinda
“Selain itu, paling genting akses jalan di kecamatan paling ujung belumpi diperhatikan, mana mi kalau hujan jalanan rusak, becek. Pernah ada warga yang mau melahirkan masih harus ditanduh lewati hutan sejauh belasan kilometer ke puskesmas,” ujarku.
“Dan lucunya lagi, ketika kita yang merantau ini pulang, malah naanggapki sombong,” lanjut Kak Ayu. “hanya karena kita bicara apa adanya. Padahal kita ini bukan sombong, tapi kecewa.” Sebenarnya sampah bisa dikelola sendiri sama masyarakat, bisa buat lubang biopori dihalaman rumah. Sampah plastiknya ini yang harus diberikan edukasi bagaimana cara pengelolaannya atau paling tidak pemerintah yang kelola.
“Sudah ada kak, dikelola jadi paving block” Jawabku. “Tapi melimpah terus ji ini sampah-sampah. Masyarakat memang yang tidak peduli atau bagaimana ? Pernah ada temanku pendatang dari luar kota bilang begini kenapa berhamburan sampah biar dipinggir jalan ini ? hahahah malu ka kurasa.”
“Iya di kak, sudah banyak juga pendatang di kampung ta. Tapi kebanyakan yang lahir dan besar di kampung justru keluar mengadu nasib.” Timpal Dinda yang menyayangkan keadaan tersebut.
Kami bertiga selesai makan, dan membayar tagihan. Kemudian kembali ke mobil. Dinda menatap lurus ke depan, ke kursi depan yang masih kosong. Suaranya mengecil. “Tapi walaupun begitu... tetap jaki pulang. Tetap sayang sama kampung.”
“Kampung sendiri kan kayak rumah,” kata Kak Ayu lirih. “Dan walaupun rumah yang masih banyak kurangnya, tetapki berharap bisa membaik. Kita lihat juga bagaimana pemimpin baru kedepan, apa saja gebrakannya”
“Harapanku, suatu saat kampung ta tidak na kasih kabur mi orang karena kecewa berat kak, semoga nanti jadi tempat yang dirindukan mau kembali. Tempatnya anak-anak muda bisa berkembang tanpa harus tinggalkan tanah kelahirannya.” Ujarku dengan pelan.
Kami terdiam sejenak. Di luar, suara motor lewat memecah kesunyian. Udara malam hari terasa dingin, tapi hati kami terasa hangat oleh kebersamaan dan harapan yang diam-diam masih tumbuh.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Mobil perlahan keluar dari halaman warung dan kembali ke jalan utama. Penumpang lain sudah mulai tertidur, ada pula yang sibuk dengan ponsel masing-masing. Di bangku tengah, percakapan tiga perempuan ini belum usai. Justru, semakin dalam.
“Biasa ka berpikir kak” ucap Dinda, memecah keheningan, “kenapa pemerintah daerah ta tidak pernah lihat potensi asli kampung ta ? Padahal alamnya estetikmi, pantai terbentang, ada kopinya enak, bahkan bukit yang kelihatan awan itu.”
“Karena mereka cuma pikirkan proyek jangka pendek. Yang penting bisa dapat untung cepat. Bikin taman kecil di kota, selfie spot. Tapi tidak napikirkan bagaimana caranya tarik wisatawan,” balas ku.
“Ingat ki tahun sebelum-sebelumnya ada Festival Mancanegara tiap tahun na laksanakan, yang justru menghabis-habiskan anggaran itu .” Kata Kak Ayu dengan nada jengkel
Di luar hujan mulai turun dan mobil tiba-tiba melintasi sebuah lubang, membuat para penumpang terbangun sejenak. Begitu jalan kembali rata, Dinda melanjutkan dengan suara lebih lantang karena suara hujan terdengar deras.
“Saya kurasa mauka merantau karena keadaan yang memaksa. Tapi jangan sampai juga keluarga yang masih dikampung mengalami hal yang sama. Harus pi kabur dari kampung sendiri hanya karena tidak ada mi penghidupan. Besar harapanku kak berubah sedikit-sedikit ini kampung”
“Iya begitu harapannya semua orang,” kata ku. “Makanya saya kembali ka ke kampung. Karena peran ta sebenarnya dibutuhkan sekarang. Anak-anak muda yang pulang bukan cuma untuk liburan, tapi bawa ilmu sama perubahan. Tidak perlu ji ditunggu pemerintah daerah, bergerak saja asal bermanfaat sama konsisten” Timpalku.
Kak Ayu tersenyum. “Wah keren juga mindset ta dek, saya bangga ka sih sama anak daerah yang berani pergi merantau melanjutkan hidup tanpa keluarga. Salutka juga sama anak muda yang kembali ke kampung untuk membangun. Jarang-jarang ka temukan orang-orang yang punya pemikiran seperti kalian, apalagi kalian gen Z toh yang dinobatkan paling mager haha…. walaupun tidak semua. Tapi salut juga dengan mental-mental ta, cobanya wakil rakyat buka diskusi seperti ini, bisa mi maju kampung ta. Merasa beruntung ka bisa ki ketemu.”
Dalam hati aku menjawab “Aku juga merasa beruntung bisa bertemu dengan kalian, ternyata sudah banyak yang memilih merantau dan sukses tapi selalu memikirkan perbaikan kampung halaman.” Kemudian aku sempat berpikir bukan suatu kebetulan aku dipertemukan dengan mereka, aku ingat dengan baik pembelajaran bermakna dari fisika: getaran dan frekuensi, bahwa segala sesuatu di alam semesta berinteraksi berdasarkan frekuensi getarannya. Dengan kata lain, getaran kita menarik getaran yang serupa, kita menarik orang-orang yang sefrekuensi dengan kita dan hal ini mempengaruhi cara kita menjalani hidup, berinteraksi dan mewujudkan keinginan kita. Dari pemikiran itu pula, aku semakin semangat menetap di kampung halaman untuk berbagi ilmu.
Obrolan pun masih berlanjut. “Lucu di kak” ujar Dinda. “Perjalanan pulkam ini kurasa lebih jujurka tentang keadaan dan perasaanku tentang kampung. Kecewa, tapi tidak bisa ki juga lepas.”
“Namanya juga kampung halaman,” jawabku. “Biar sejelek apapun keadaannya, tetap jadi tempat yang dirindukan.”
“Kampung ta itu sebenarnya kaya,” kata Kak Ayu. “Punya gunung, sawah, laut, sungai, dan anak muda kreatif. Tapi sayangnya yang pegang anggaran kreatifnya cuma pas mau pemilu. Makanya betah ka saya di Makassar, macet memang tapi kalau ada jalan rusak atau mati lampu jalannya paling warga protes rame-rame lagi. Kalau di kampung ta ? Paling bikin status Faceebook : Yaaah mau tambal jalan lagi, kapan pi ini kampung terang bersinar kayak odo’-odo’ yang shining shimmering splendid”
Kami terbahak-bahak. Lanjut Dinda sambil menatap keluar rintik-rintik hujan. “Walaupun kecewa sama kampung halaman, saya tetapka pulang. Karena di kampungta ada yang tidak bisa diganti…”
“Apa mi itu dek?” tanyaku dan Kak Ayu secara bersamaan.
“Sambusa kak,” jawabnya semangat.
“Iya tawwa enaknya itu di.” timpalku sambil terngiang-ngiang rasa Sambusa.
“Kalau saya kusuka jalan-jalan dikampung sambil selfie,” kata Kak ayu dengan bercanda sambil mengangkat HP. “Baru buat ka Caption: 'Walaupun kecewa, tetapja cinta kampung halaman. Tapi, tolong… pemimpin, masyarakatnya sadar-sadar ki sedikit.”
Kami pun tertawa lagi, saking asyiknya mengobrol tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Dua jam lagi mobil memasuki wilayah kampung halaman, kami pun segera beristirahat.
Obrolan malam itu berakhir dengan tawa dan semangat. Di tengah gelap dan sunyi kampung, cahaya kecil harapan menyala di antara tiga perempuan yang memilih pulang: suatu hari nanti, kampung halaman bukan hanya tempat untuk bernostalgia, bukan lagi tempat untuk ditinggalkan, tapi untuk kembali tanpa keluh kesah.
Penulis: Nurul Pratiwi
Aku duduk di pinggir sisi kiri, menatap keluar dengan perasaan nostalgia di kota Makassar walaupun hanya memandang gedung-gedung dan hiruk pikuknya aku selalu merasa senang jika berada di kota ini. Di bagian tengah ada Dinda yang umurnya lebih muda dariku tapi kami masih sama-sama generasi Z sedang scroll-scroll sosmednya, dan paling ujung ada Kak Ayu generasi Y, yang sedang membuka bungkusan camilan dari tas ranselnya.
“Makan ki biskuit dek.” Kak Ayu menawarkan camilannya kepada kami, aku dan Dinda mengangguk “Iyee.. kak.”
“Lumayan lamaki juga di jalan.” keluh Dinda sambil mengelus punggungnya.
“Sore hari memang selalu begini toh karena jam pulang kerja” jawabku. “Iya kak, beda di kampung kalau menjelang sore mulaimi gelap”. Sahut Dinda yang sedikit sarkas diiringi tawanya.
Seketika kak Ayu pun nimbrung “iya di, kurasa dari kecilka sampai sekarang masih gelap”
Akupun menanyakan pada mereka di mana tempat tinggalnya dan apa keperluan mereka di kota Makassar saat itu. Ternyata mereka juga lahir dan besar di kampung yang sama dan telah menempuh pendidikan di kota Makassar. Dinda merupakan alumni PPG Prajabatan Unismuh dan ke kota Makassar untuk mengikuti tes P3K. Sementara Kak Ayu adalah seorang Dosen tetap di perguruan tinggi negeri di Makassar.
“Oh alumni PPG Prajab ki juga, jadi dimana formasi yang dipilih ? ” Tanyaku pada Dinda
“iye kak, Saya kupilih Kalimantan di kota Paser kak. Kita kak ?”
“Kalau saya tetap ji di Kampung/Pemkab tapi begitumi sedikit formasi.”
“Saya pilih ka di Kalimantan kak karena habis formasi ditahap 1, sistemnya p3k tahun 2024 ini kan Honorer Prioritas Kak.”
“Iya betul sistemnya begitu, kalau saya sendiri pilih di kampung karena mau temani orang tua, dari dulu juga niatku kembali ka ke kampung mengajar.”
“Kalau saya justru disuruh ka sama mamaku keluar kota saja karena dia bilang susah kalau dikampung, kecewa terus jaki nanti.”
“Kecewa kenapa memang ?”
“Pengalaman mi kak mamaku, dia itu honorer staff kak di sekolah sudah belasan tahun honor tapi selalu kalah dengan honorer baru yang biasa na bilang orang siluman ee. Baru ta sedikit juga formasinya, sekarang berhenti mi mamaku honor tidak sanggup mi juga ikut tes.”
“Iya, ada beberapa memang oknum-oknum yang ambil kesempatan di momen pendafataran P3k. Rasanya tidak adil memang kalau honorer yang belum cukup 2 tahun terdata didapodik tapi bisa ikut tes.”
Kak Ayu mendengar obrolan kami pun ikut bersuara
“Seleksi ASN kali ini memang seamburadul itu di, sampai ada tahap 2”. Timpal Kak Ayu. “Tapi sayang tidak terakomodir dengan baik. Padahal awalnya P3k dibuka untuk honorer yang sudah lama mengabdi, kenapa jadi keterusan sampai sekarang? biar yang tidak cukup masa pengabdiannya ikut juga, mana mi lulusan PPG prajab jadi Prioritas terakhir. Aturan sebelumnya ini aduh mengecewakan, tambah lagi yang sekarang tidak worth it.”
“Seharusnya sih yang sudah tua dan lama mengabdi yang ikut P3K, kalau yang masih muda-muda atau yang belum cukup 2 tahun mengabdi dibukakan formasi CPNS saja, biar kita bersaing secara fair toh tidak tumpang tindih.” Jawabku memberikan sedikit pandangan.
“Iya, sudah jelas itu aturan perundang-undangan kualifikasi akademik guru, minimal D-IV atau S1 atau Sertifikat Pendidik. Tapi semenjak ada p3k justru membuka peluang yang punya ordal berbondong-bondong mau masuk dapodik biar belum lulus kuliah, biar tidak datang mengabdi ada tong namanya di dapodik! Kenapa kurasa kayak dipermainkan sekali jenjang karirnya anak-anak pendidikan.” Timpal Kak Ayu yang begitu kesal
“Betul itu kak, PPG angkatan tahun sebelumnya masih banyak yang belum terserap jadi ASN malah menambah pengangguran berserdik kak.” Timpal Dinda
“Seandainya itu serdik bisa digadai di, bisa maki mungkin pakai jadi modal usaha”. Jawabku yang di sambut tawa seluruh penumpang dan supir yang ikut menyimak percakapan kami.
“Berapa memang formasi di Pemkab kah atau Pemprov ? ” Tanya Kak ayu
“Sedikit sekali kak, Pemda atau Pemprov tidak sanggup mungkin gaji pegawai.”
Kak Ayu mengangguk, “Kampung ta sepertinya tertinggal di. Na biar formasi sedikit, tidak maju-maju. Tapi tiap kali pemilu, baliho besar-besar ji. Janji pembangunan, janji perubahan. Begitu menang, hilang semua mi.”
Kami semua tertawa kecil, tapi terdengar getir. Selama setengah jam lebih mengobrol, akhirnya supir berhasil juga melewati kemacetan dan kami pun terus mengobrol selama perjalanan.
“Sebenarnya banyak yang bikin kecewa, sempat dulu ada temanku juga yang mau jadi honorer (instansi tidak disebutkan) tapi susah sekali diterima. Yang diterima itu orang-orang terdekatnya ji mereka. ”
“Iya Kak,” Kata Dinda. Kurasa juga begitu, serba orang dalam pi kak baru bisa.”
“Tapi serius ya,” tambah Ka Ayu. “Saya dulu lanjutka S2 cuma karena capek juga tinggal tidak ada dikerja, mauka honor tidak ada orang dalamku lebih kupilih mengajar di Makassar.”
“Saya lebih parah kak,” Kata ku sambil membuka freshcare. “Dulu pernah ka mau honor di salah satu sekolah, pas wawancara ditanya: ‘Keluarganyaki siapa yang mengajar disini?’ Ya ampun, ku kira mi itu tes DNA.”
“hahhahah begitulah realita yang terjadi di daerah ta, dari dulu seperti itu, mungkin bisa saja berubah kalau pemimpinnya juga sadar.”
“Selain pemimpinnya masyarakatnya juga perlu sadar kak, mau sampai kapan andalkan orang dalam atau sanak keluarga”
“Betul itu kak, dan rata-rata sama semua ji kayaknya ceritanya orang-orang selalu dikecewakan, jadi na pilih cari kehidupan layak di luar daerah.”
Sejam kemudian Mobil berhenti sejenak di kota Maros tepatnya toko oleh-oleh untuk istirahat. Supir turun merokok, penumpang lainnya berhamburan keluar untuk membeli oleh-oleh atau sekadar meluruskan kaki. Setelah membeli oleh-oleh kami semua beranjak kembali mobil.
“Tidak sakit ji kepalata om Aco dengarki cerita ?” Tanyaku pada supir.
“Iyoo, ededeh kau semua kalau baku dapat mko sama perempuan tidak habis-habis ceritamu.”
Aku tertawa mendengar celotehnya saat berjalan ke arah mobil. Seluruh penumpang sudah ada, supir kemudian tancap gas melanjutkan perajalanan.
“Mauko semua makan apa? ” Tanya supir
“Makan Ikan bakar atau Ayam saja om.” Jawabku
“Iya om, tapi warung yang enak nah.” Pinta Dinda
“Okee, nanti singgah di Pangkep tapi berhenti-berhenti mako dulu cerita. Nanti pi lagi lanjut di warung”
“ahahahah”. Semua tertawa, kemudian sibuk dengan handphone masing-masing. Hingga pukul 20.20 mobil tiba diwarung makan. Kami bertiga ingin memesan Ikan bakar tapi sayang yang tersisa hanya Ikan besar. Kami merasa tidak mampu menghabiskannya, sehingga memilih ayam goreng saja. Secara tidak sengaja kami bertiga semeja lagi, rasanya nyaman mengobrol sambil menikmati makan malam bersama.
“Kuingat sekali waktu kecil,” ujar Kak Ayu pelan, “kampung ta itu ramai. Ada pertunjukan rakyat setiap pesta rakyat, dan orang-orang saling bantu. Sekarang agak berkurang toh di beberapa tempat? Banyak rumah kosong. Anak muda pergi semua.”
“Karena di kampung ta tidak ada masa depan, Kak” jawab Dinda. “kulihat teman-temanku, setelah lulus SMA atau kuliah, bingung mau apa. Mau tani, lahannya makin sedikit. Mau dagang, pasar sepi. Mau kerja kantoran, ya mana ada?. Banyak juga yang pilih pergi ke Morowali kak. Makanya saya kucoba mi juga ini daftar di Kalimantan. Tapi haruskah semua pindah sejauh itu untuk hidup layak? ”
“Iya banyak yang pindah karena kampung ta tidak nakasihki kesempatan berkembang,” kata Kak Ayu tegas. “Bukan cuma soal ekonomi. Tapi juga soal mental. Pemerintah daerah ta terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Tidak ada program jangka panjang yang benar-benar dijalankan.”
“Iya kenyataan itu kak, belum lagi sampah dimana-mana. Masyarakat buang sampah sembarangan, kurang juga penerangannya. ” Timpal Dinda
“Selain itu, paling genting akses jalan di kecamatan paling ujung belumpi diperhatikan, mana mi kalau hujan jalanan rusak, becek. Pernah ada warga yang mau melahirkan masih harus ditanduh lewati hutan sejauh belasan kilometer ke puskesmas,” ujarku.
“Dan lucunya lagi, ketika kita yang merantau ini pulang, malah naanggapki sombong,” lanjut Kak Ayu. “hanya karena kita bicara apa adanya. Padahal kita ini bukan sombong, tapi kecewa.” Sebenarnya sampah bisa dikelola sendiri sama masyarakat, bisa buat lubang biopori dihalaman rumah. Sampah plastiknya ini yang harus diberikan edukasi bagaimana cara pengelolaannya atau paling tidak pemerintah yang kelola.
“Sudah ada kak, dikelola jadi paving block” Jawabku. “Tapi melimpah terus ji ini sampah-sampah. Masyarakat memang yang tidak peduli atau bagaimana ? Pernah ada temanku pendatang dari luar kota bilang begini kenapa berhamburan sampah biar dipinggir jalan ini ? hahahah malu ka kurasa.”
“Iya di kak, sudah banyak juga pendatang di kampung ta. Tapi kebanyakan yang lahir dan besar di kampung justru keluar mengadu nasib.” Timpal Dinda yang menyayangkan keadaan tersebut.
Kami bertiga selesai makan, dan membayar tagihan. Kemudian kembali ke mobil. Dinda menatap lurus ke depan, ke kursi depan yang masih kosong. Suaranya mengecil. “Tapi walaupun begitu... tetap jaki pulang. Tetap sayang sama kampung.”
“Kampung sendiri kan kayak rumah,” kata Kak Ayu lirih. “Dan walaupun rumah yang masih banyak kurangnya, tetapki berharap bisa membaik. Kita lihat juga bagaimana pemimpin baru kedepan, apa saja gebrakannya”
“Harapanku, suatu saat kampung ta tidak na kasih kabur mi orang karena kecewa berat kak, semoga nanti jadi tempat yang dirindukan mau kembali. Tempatnya anak-anak muda bisa berkembang tanpa harus tinggalkan tanah kelahirannya.” Ujarku dengan pelan.
Kami terdiam sejenak. Di luar, suara motor lewat memecah kesunyian. Udara malam hari terasa dingin, tapi hati kami terasa hangat oleh kebersamaan dan harapan yang diam-diam masih tumbuh.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Mobil perlahan keluar dari halaman warung dan kembali ke jalan utama. Penumpang lain sudah mulai tertidur, ada pula yang sibuk dengan ponsel masing-masing. Di bangku tengah, percakapan tiga perempuan ini belum usai. Justru, semakin dalam.
“Biasa ka berpikir kak” ucap Dinda, memecah keheningan, “kenapa pemerintah daerah ta tidak pernah lihat potensi asli kampung ta ? Padahal alamnya estetikmi, pantai terbentang, ada kopinya enak, bahkan bukit yang kelihatan awan itu.”
“Karena mereka cuma pikirkan proyek jangka pendek. Yang penting bisa dapat untung cepat. Bikin taman kecil di kota, selfie spot. Tapi tidak napikirkan bagaimana caranya tarik wisatawan,” balas ku.
“Ingat ki tahun sebelum-sebelumnya ada Festival Mancanegara tiap tahun na laksanakan, yang justru menghabis-habiskan anggaran itu .” Kata Kak Ayu dengan nada jengkel
Di luar hujan mulai turun dan mobil tiba-tiba melintasi sebuah lubang, membuat para penumpang terbangun sejenak. Begitu jalan kembali rata, Dinda melanjutkan dengan suara lebih lantang karena suara hujan terdengar deras.
“Saya kurasa mauka merantau karena keadaan yang memaksa. Tapi jangan sampai juga keluarga yang masih dikampung mengalami hal yang sama. Harus pi kabur dari kampung sendiri hanya karena tidak ada mi penghidupan. Besar harapanku kak berubah sedikit-sedikit ini kampung”
“Iya begitu harapannya semua orang,” kata ku. “Makanya saya kembali ka ke kampung. Karena peran ta sebenarnya dibutuhkan sekarang. Anak-anak muda yang pulang bukan cuma untuk liburan, tapi bawa ilmu sama perubahan. Tidak perlu ji ditunggu pemerintah daerah, bergerak saja asal bermanfaat sama konsisten” Timpalku.
Kak Ayu tersenyum. “Wah keren juga mindset ta dek, saya bangga ka sih sama anak daerah yang berani pergi merantau melanjutkan hidup tanpa keluarga. Salutka juga sama anak muda yang kembali ke kampung untuk membangun. Jarang-jarang ka temukan orang-orang yang punya pemikiran seperti kalian, apalagi kalian gen Z toh yang dinobatkan paling mager haha…. walaupun tidak semua. Tapi salut juga dengan mental-mental ta, cobanya wakil rakyat buka diskusi seperti ini, bisa mi maju kampung ta. Merasa beruntung ka bisa ki ketemu.”
Dalam hati aku menjawab “Aku juga merasa beruntung bisa bertemu dengan kalian, ternyata sudah banyak yang memilih merantau dan sukses tapi selalu memikirkan perbaikan kampung halaman.” Kemudian aku sempat berpikir bukan suatu kebetulan aku dipertemukan dengan mereka, aku ingat dengan baik pembelajaran bermakna dari fisika: getaran dan frekuensi, bahwa segala sesuatu di alam semesta berinteraksi berdasarkan frekuensi getarannya. Dengan kata lain, getaran kita menarik getaran yang serupa, kita menarik orang-orang yang sefrekuensi dengan kita dan hal ini mempengaruhi cara kita menjalani hidup, berinteraksi dan mewujudkan keinginan kita. Dari pemikiran itu pula, aku semakin semangat menetap di kampung halaman untuk berbagi ilmu.
Obrolan pun masih berlanjut. “Lucu di kak” ujar Dinda. “Perjalanan pulkam ini kurasa lebih jujurka tentang keadaan dan perasaanku tentang kampung. Kecewa, tapi tidak bisa ki juga lepas.”
“Namanya juga kampung halaman,” jawabku. “Biar sejelek apapun keadaannya, tetap jadi tempat yang dirindukan.”
“Kampung ta itu sebenarnya kaya,” kata Kak Ayu. “Punya gunung, sawah, laut, sungai, dan anak muda kreatif. Tapi sayangnya yang pegang anggaran kreatifnya cuma pas mau pemilu. Makanya betah ka saya di Makassar, macet memang tapi kalau ada jalan rusak atau mati lampu jalannya paling warga protes rame-rame lagi. Kalau di kampung ta ? Paling bikin status Faceebook : Yaaah mau tambal jalan lagi, kapan pi ini kampung terang bersinar kayak odo’-odo’ yang shining shimmering splendid”
Kami terbahak-bahak. Lanjut Dinda sambil menatap keluar rintik-rintik hujan. “Walaupun kecewa sama kampung halaman, saya tetapka pulang. Karena di kampungta ada yang tidak bisa diganti…”
“Apa mi itu dek?” tanyaku dan Kak Ayu secara bersamaan.
“Sambusa kak,” jawabnya semangat.
“Iya tawwa enaknya itu di.” timpalku sambil terngiang-ngiang rasa Sambusa.
“Kalau saya kusuka jalan-jalan dikampung sambil selfie,” kata Kak ayu dengan bercanda sambil mengangkat HP. “Baru buat ka Caption: 'Walaupun kecewa, tetapja cinta kampung halaman. Tapi, tolong… pemimpin, masyarakatnya sadar-sadar ki sedikit.”
Kami pun tertawa lagi, saking asyiknya mengobrol tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Dua jam lagi mobil memasuki wilayah kampung halaman, kami pun segera beristirahat.
Obrolan malam itu berakhir dengan tawa dan semangat. Di tengah gelap dan sunyi kampung, cahaya kecil harapan menyala di antara tiga perempuan yang memilih pulang: suatu hari nanti, kampung halaman bukan hanya tempat untuk bernostalgia, bukan lagi tempat untuk ditinggalkan, tapi untuk kembali tanpa keluh kesah.
Penulis: Nurul Pratiwi