Kembali

"Jelleko vs Kalian bodoh" Mengapa keduanya sesat pikir? : Tanggapan atas fenomena aksi demonstrasi di Majene

106
Kim
15 Maret 2025
Oleh: Kim

Kata “Maha” sering dikaitkan dengan sesuatu yang agung dan berwibawa. Tapi, apakah benar mahasiswa selalu mencerminkan hal itu? Kalau “Maha” berarti besar dan luhur, seharusnya mahasiswa adalah sosok yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Tapi kenyataannya, ada momen di mana suara lantang mahasiswa justru jadi bumerang, bukan karena apa yang mereka perjuangkan salah, tapi karena cara penyampaiannya yang melenceng dari argumentasi yang masuk akal.

Pernahkah kalian dalam sebuah perdebatan melihat seseorang yang bukannya membantah gagasan, tetapi justru menyerang pribadi lawan bicaranya? Misalnya dengan ucapan seperti "busuk mulutmu," "kamu pemalas," atau bahkan "jelleko." Alih-alih berdebat secara sehat, mereka malah menyerang secara personal. Dalam logika, ini adalah bentuk kesesatan berfikir yang seharusnya dihindari.

Kesesatan berpikir dalam logika dikenal dengan istilah fallacy. Menurut Raja Olan dalam Logika ilmu berfikir kritis (2019) mengungkapkan kesesatan berpikir bukanlah kesalahan dalam fakta, melainkan kesalahan dalam cara menarik kesimpulan akibat penalaran yang tidak sehat. Kita bisa melihat contoh nyata dari fenomena yang terjadi beberapa waktu lalu, di mana sebuah video yang beredar di media menunjukkan seorang mahasiswi meneriaki massa aksi dengan kata-kata jelleko. Ini merupakan salah satu bentuk kesesatan berpikir yang dikenal sebagai Argumentum ad hominem, yaitu menyerang pribadi seseorang alih-alih membantah gagasannya.

Seperti dijelaskan Nuruddin dalam Logical Fallacy (2021), menjatuhkan pendapat seseorang dengan menyerang kepribadiannya bukanlah cara berdiskusi yang benar. Mengkritik tanpa argumen yang kuat hanya akan membuat inti gagasan tenggelam. Sebagai penjaga akal sehat, mahasiswa harusnya berpikir tajam dan berbobot, bukan cuma teriak-teriak tanpa argumentasi yang jelas sambil menyerang orang lain secara pribadi.

Dilihat dari maknanya, kata yang mengandung hinaan itu sebenarnya punya dampak yang tidak baik, terutama ditinjau dari perspektif logical fallacy seperti yang dijelaskan oleh Nuruddin. Misalnya, kata "Jelleko" yang kalau kita pecah jadi "Jelle" (jelek) dan "Ko" (kamu/objek). Dalam KBBI, "jelek" sendiri berarti sesuatu yang tidak enak dipandang atau tidak menyenangkan. Sementara dalam bahasa yang sering digunakan masyarakat Sulawesi Barat, "jelle" juga berarti jelek, dan "ko" merujuk pada objek (misalnya manusia). Jadi, kesimpulannya, "jelleko" itu berarti seseorang yang dianggap tidak enak dipandang atau buruk.

Nah, di mana letak kesalahannya? Kata ini mengandung sesat pikir atau logical fallacy, lebih tepatnya argumentum ad hominem tipe I (abusif). Dalam buku Filsafat Berpikir karya Ainur Rahman Hidayat, argumentum ad hominem tipe I dijelaskan sebagai argumen yang menyerang langsung ke pribadi seseorang, bukan ke isi argumennya. Jenis argumen ini sering kali digunakan sebagai bentuk pelecehan secara verbal terhadap individu yang menyampaikan suatu pendapat. Biasanya, serangan ini menyangkut aspek personal seperti gender, fisik, sifat, atau kondisi psikologis seseorang.

Meskipun ada juga mahasiswa yang dianggap memiliki intelektualitas. Namun, tetap saja penting bagi mereka untuk terus belajar dan memperdalam pemahaman dalam berargumentasi. Hal ini untuk menghindari cacat berpikir, terutama di kalangan yang merasa dirinya intelektual. Misalnya, pernyataan seperti “kalian bodoh” bisa menjadi masalah serius jika disampaikan tanpa dasar yang kuat. Oleh karena itu, menyampaikan pendapat sebaiknya dilakukan dengan argumentasi yang kokoh dan berbasis fakta. Sebuah argumen bisa dianggap cacat jika hanya berisi serangan tanpa dasar, namun bisa tetap valid jika didukung oleh alasan yang objektif dan logis.

Bukan cuma mahasiswa yang sering terjebak dalam sesat pikir ini. Contohnya bisa kita lihat dalam debat panas antara Rocky Gerung dan Silfester Matutina. Dalam debat tersebut, ada banyak sesat pikir yang muncul, salah satunya ketika Silfester melontarkan kata “bujang lapuk" kepada Rocky Gerung. Ini jelas masuk dalam kategori argumentum ad hominem, karena alih-alih membantah argumen Rocky dengan logika yang kuat, Silfester malah menyerang pribadinya.

Jadi, penting sekali buat kita memahami bahwa dalam berdebat atau berdiskusi, argumen yang sehat itu harus fokus pada isi dan logika, bukan menyerang personal lawan bicara. Bukannya bikin diskusi makin berbobot, argumentum ad hominem justru bikin esensi dari sebuah perdebatan jadi kabur dan tidak produktif.

Kalau kita bisa meninjau kembali bahwa asal kata, “Mahasiswa” berasal dari “Maha” yang berarti besar, dan “Siswa” yang artinya pelajar. Jadi, lebih dari sekadar status akademik, mahasiswa punya tanggung jawab besar untuk berpikir kritis dan menciptakan perubahan. Dalam tradisi Socrates yang tertulis di Apologia Socrates, mencari kebenaran itu bukan sekadar berpendapat, tapi harus dengan argumen yang kuat, logis, dan berbasis fakta.

Tapi realitanya? Tidak selalu sejalan dengan idealisme. Kadang ada mahasiswa yang justru lupa cara berpikir kritis dan malah terjebak dalam ekspresi yang tidak bijak. Kata-kata yang seharusnya jadi jembatan menuju perubahan malah jadi tembok pemisah yang bikin perjuangan intelektual terasa sia-sia. Padahal, sepanjang sejarah, mahasiswa selalu punya peran besar dalam perubahan sosial dan politik.

Lalu, kenapa ada mahasiswa yang kehilangan ketajaman berpikirnya? Antonio Gramsci dalam Mazhab Pendidikan Kritis (2011:34) menjelaskan bahwa hegemoni bisa membentuk pola pikir tanpa mereka sadari. Banyak mahasiswa yang tidak sadar kalau mereka hidup dalam sistem yang mengarahkan cara berpikir mereka. Ketika ruang kritik mulai dipersempit, ketika suara mereka mulai dibatasi, perlahan daya kritis bisa memudar.

Tapi, apakah mahasiswa harus pasrah? Tentu saja tidak! Mahasiswa harus tetap jadi sumber pemikiran yang jernih, tidak gampang terpengaruh kepentingan tertentu. Mereka bukan benteng yang melindungi kesalahan, tapi cermin yang menunjukkan kebenaran. Seperti kata Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas (1970), pendidikan bukan cuma sekadar transfer ilmu, tapi proses pembebasan. Mahasiswa ideal bukan cuma memahami dunia, tapi juga berusaha mengubahnya dengan cara yang bijak dan bermartabat.

Jadi, mahasiswa perlu menjaga keseimbangan antara keberanian dan kebijaksanaan. Kritik tetap harus tajam, tapi bukan untuk menyakiti, melainkan untuk membangun. Suara tetap harus lantang, tapi bukan untuk menyerang, melainkan untuk menerangi. Karena mahasiswa itu bukan sekadar status, tapi peran besar yang butuh ketajaman berpikir, kekuatan argumen, dan kebijaksanaan dalam bertindak.

Sebagai agen perubahan, mahasiswa harus jadi contoh yang baik. Kalau kata-kata itu senjata, gunakan dengan bijak. Kalau argumen itu alat, pakai dengan tepat. Perubahan sejati tidak lahir dari sekadar kebisingan, tapi dari pemikiran yang cerdas dan tindakan yang bermakna.

Referensi :
- Freire, P. (2018). Pendidikan Kaum Tertindas (Tim Redaksi, Penerj.). LP3S. (Karya asli diterbitkan tahun 1970).
- Hidayat, A. R. (2018). Filsafat Berpikir. Duta Media Publishing.
- Nuruddin. (2021). Logical Fallacy. Gemala.
- Nuryatno, M. A. (2011). Mazhab Pendidikan Kritis. Resist Book.
- Plato. (2019). Apologia Socrates (A. R. Yafi, Penerj.). Basabasi.
- Tumanggor, R. O., & Suharyanto, C. (2019). Logika: Ilmu berpikir kritis. PT Kanisius

Nama: Kim
Media Sosial, Ig/Tiktok/Fb: khimkong_
Aktivitas keseharian : Membaca dan berdagang
Penulis: Kim