Literasi di Tengah Kondisi Kritis
64
Firdaus
3 Juli 2025
Senin (26/5/2025), HMJ PPKn UNASMAN mengadakan kajian dengan mengangkat tema "Literasi di Tengah Kondisi Kritis". Kajian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pentingnya literasi masa kini di lingkungan masyarakat, terkhusus mahasiswa yang dominan lebih sering menelusuri TikTok, IG, FB, dan media sosial lainnya.
Literasi sendiri adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, memahami, menginterpretasikan, dan menggunakan informasi dengan baik. Literasi melibatkan pemahaman teks, keterampilan berbahasa, berpikir kritis, dan keterampilan komunikasi yang efektif. Ini mencakup kemampuan untuk memperoleh, menganalisis, dan menggunakan informasi dalam berbagai konteks.
Saya sebagai pemateri memantik pertanyaan untuk pertama kalinya kepada peserta diskusi dengan beberapa pertanyaan. Pertanyaan pertama yang saya lontarkan adalah: "Kapan terakhir kali Anda membuka media sosial? Baik itu TikTok, IG, FB, WA, dan sejenisnya?" Beberapa jawaban dari peserta pun beragam: kebanyakan mengatakan baru saja, ada yang menjawab beberapa menit lalu, bahkan ada yang mengatakan sedang membuka media sosial ketika diskusi sedang berlangsung.
Kemudian, saya melontarkan pertanyaan kedua: "Kapan terakhir Anda membaca buku?" Jawabannya pun beragam: ada yang menjawab malam tadi, ada yang baru saja, ada juga yang bilang bulan lalu, dan sebagian besar menjawab lupa kapan terakhir membaca buku. Hasil dari dua pertanyaan pemantik tersebut menunjukkan bahwa peserta kajian rata-rata memang lebih sering membuka media sosial dibandingkan dengan membaca buku.
Hal ini bisa dimaklumi. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa membuka media sosial lebih sering dilakukan ketimbang membaca buku. Karena di era sekarang, di mana arus teknologi dan informasi tidak dapat dibendung, kondisi seseorang yang sedang membaca buku justru menjadi hal yang tabu dan aneh jika dilakukan. Mengapa bisa demikian? Apakah buku menjadi seaneh itu? Apakah membaca buku adalah hal yang primitif untuk kita lakukan pada masa kini? Ataukah karena meskipun kita tidak suka membaca buku, kita masih bisa menjadi wakil presiden? Dan masih banyak lagi pertanyaan lain yang timbul di benak saya.
Dari survei yang dilakukan oleh We Are Social dan Hootsuite menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 8 jam per hari di internet. Bahkan saya percaya penggunaan internet di Indonesia lebih dari 8 jam. Sayangnya, banyak waktu tersebut digunakan untuk mengonsumsi konten tanpa filter, bukan untuk mengembangkan pengetahuan atau berpikir kritis.
Kondisi ini menyebabkan masyarakat mudah terjebak dalam ilusi digital, di mana informasi yang dikonsumsi secara pasif justru menciptakan keresahan, bukan pencerahan. Konten di media sosial cenderung bersifat instan dan tidak memiliki nilai yang jelas selain hanya memberikan kesenangan sesaat.
Media sosial adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia memberikan akses ke informasi dan edukasi, tetapi di sisi lain, penggunaan yang tidak terkontrol dapat berdampak negatif. Konten yang hanya berorientasi pada hiburan instan membuat otak terbiasa dengan stimulus cepat dan tanpa tantangan berpikir yang mendalam.
Belakangan ini bahkan muncul istilah atau fenomena baru yang menjadi ancaman bagi kita sebagai konsumen media sosial, yaitu brain rot.
Istilah brain rot atau lebih tren dikenal sebagai‘pembusukan otak’meskipun tidak ditemukan dalam terminologi psikologi resmi merujuk pada penurunan kemampuan berpikir kritis, daya ingat, dan fungsi eksekutif akibat paparan konten media sosial yang dangkal.
Konten seperti prank, tantangan ekstrem, dan video pendek yang hanya berfokus pada sensasi, bukan substansi, disebut sebagai pemicu utama fenomena ini. Belum lagi konten dan unggahan informatif yang lebih mengarah pada kepentingan kelompok atau individu tertentu, bukan kepada kebenaran.
Hoaks pun tersebar membabi buta di media. Terlebih ketika berbicara tentang kondisi politik, sosial, budaya, SARA, dan sebagainya, kita tidak mudah lagi membedakan mana yang benar dan mana yang kelihatan benar, kecuali kita mampu menganalisis informasi tersebut dengan baik.
Lebih daripada survei dan fenomena di atas, bagaimana dengan minat baca masyarakat Indonesia?
Menurut UNESCO baru-baru ini, indeks minat baca Indonesia baru mencapai 0,001%—yang artinya dari 1.000 penduduk, hanya satu orang yang berminat membaca. Yang berbahaya dari menurunnya minat baca di Indonesia adalah meningkatnya minat dalam berkomentar. Agak aneh, karena kita sebagai masyarakat Indonesia menganggap hal tersebut biasa saja, di mana sekali lagi literasi dianggap sulit untuk dilakukan dan sebagian besar dari kita tidak mau ambil pusing, yang penting kita hidup.
Lebih lanjut dari diskusi hari ini, timbul lagi pertanyaan pemantik dari saya kepada peserta: "Apa pentingnya literasi?" Pertanyaan ini menjadi agak berat untuk dijawab. Beberapa menjawab “untuk mendapatkan informasi”, ada yang mengatakan “untuk mengelola informasi”, dan sisanya ikut-ikutan menjawab. Simpulannya bagaimana mungkin kita mengetahui pentingnya literasi, sedangkan tingkat pemahaman kita sendiri tentang literasi sangat minim?
Jadi, pentingnya literasi adalah sebagai tameng terhadap serangan arus informasi yang tidak bisa kita bendung, agar kita mampu mengelola, menganalisis, menginterpretasikan, serta menggunakan informasi secara positif dan menghadang hoaks yang semakin merajalela. Saya umpamakan literasi sebagai sebuah lentera yang menerangi jalan kita di dunia.
Komponen penting dari literasi untuk menyesuaikan kondisi masa kini antara lain: Pertama Pendekatan Kajian Literasi Baru (New Literacy Studies) yang melihat literasi sebagai praktik politik, sosial, dan budaya, bukan sekadar kemampuan teknis membaca dan menulis. Kedua Literasi Media, sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran kritis masyarakat dalam menghadapi dinamika informasi yang deras, sehingga kita mampu menyaring informasi dan membangun opini yang cerdas. Ketiga Literasi Digital, sebagai kebutuhan mendesak di era digital ini, termasuk dalam menghadapi kecerdasan buatan dan banjir informasi digital, agar kita dapat menggunakan teknologi dengan bijak.
Adapun manfaat dari literasi antara lain: Pertama Memungkinkan individu mengakses dan memahami informasi dari teks—baik buku, artikel, jurnal, hingga sumber daya daring—yang membuka pintu perluasan pengetahuan dan keterampilan. Kedua Penting dalam pendidikan formal dan non-formal, terlebih bagi mereka yang berkecimpung di dunia akademis. Ketiga Membantu pengembangan keterampilan berpikir kritis, menganalisis informasi, mengevaluasi argumen, dan membuat keputusan rasional. Keempat Memberdayakan individu untuk menyampaikan ide secara efektif. Kelima, menjadi aset berharga di dunia kerja. Keenam, memberikan ruang untuk mengembangkan minat, imajinasi, dan kreativitas. Ketujuh Mendorong perubahan sosial yang positif melalui partisipasi aktif masyarakat dalam isu-isu penting.
Manfaat-manfaat ini seharusnya menyadarkan kita bahwa di tengah perubahan zaman dan kemajuan teknologi, masyarakat terutama mahasiswa harus terus belajar. Kita harus siap menghadapi tantangan zaman dan menyambut Indonesia Emas 2045. Jangan sampai “Indonesia Emas” yang digaungkan oleh Wakil Presiden yang belakangan viral hanya menjadi khayalan, atau lebih buruk lagi berubah menjadi Indonesia Cemas 2045. Akhirnya “Literasi itu penting, karena kebodohan rajin memakan korban.”
Penulis: Firdaus