Kembali

Orang Miskin Dilarang Sekolah

9
Kim
30 Juli 2024

 

Oleh Kim

 Melarang orang miskin sekolah akan menyebabkan kehilangan potensi berharga bagi perkembangan masyarakat. Jangan biarkan slogan "Orang Miskin Dilarang Sekolah" menjadi kenyataan yang merugikan kita semua.

Pendidikan, sebagai fondasi pembangunan masyarakat, seharusnya menjadi hak bagi semua, tanpa memandang status sosial atau latar belakang ekonomi. Namun, masih terdapat realitas yang mencengangkan dalam sistem pendidikan di beberapa tempat, bahwa"Orang Miskin Dilarang Sekolah."

Kita harus menyadari bahwa ini semacam provokasi untuk menyoroti ketidaksetaraan akses pendidikan. Memang, di beberapa bagian dunia, orang miskin masih menghadapi kendala serius dalam mengakses pendidikan yang layak. Mulai dari biaya sekolah, perlengkapan pendidikan, hingga diskriminasi sosial, banyak hal yang mencegah orang miskin meraih impian pendidikan mereka.

Sistem pendidikan yang melarang orang miskin sekolah tidak hanya melukai hak asasi manusia, tetapi juga melemahkan potensi pembangunan sosial. Filsuf pendidikan seperti Paulo Freire telah menyoroti pentingnya pendidikan sebagai alat pembebasan dan kesetaraan. Mereka berpendapat bahwa pendidikan seharusnya menjadi daya ungkit untuk mengatasi ketidaksetaraan dan membangun masyarakat yang adil.

Freire menekankan konsep "pendidikan pembebasan," di mana pendidikan bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga tentang memberdayakan individu untuk berpikir kritis, bertindak, dan mengubah realitas mereka. Jika orang miskin dilarang sekolah, hal ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ini, karena menghambat potensi pembebasan dan partisipasi mereka dalam proses pembangunan.

Selain itu, John Dewey, seorang filsuf pendidikan Amerika, menekankan pentingnya pengalaman sebagai sarana pembelajaran. Menyekolahkan orang miskin bukan hanya masalah memberikan akses fisik ke mereka, tetapi juga memberikan pengalaman belajar yang bermakna. Dewey berpendapat bahwa pendidikan seharusnya menciptakan lingkungan di mana siswa dapat terlibat dalam pembelajaran yang relevan dengan kehidupan mereka.

Jika orang miskin dilarang sekolah, mereka tidak hanya kehilangan akses ke pengetahuan, tetapi juga kesempatan untuk mengalami dan mengembangkan keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan bukan hanya tentang buku dan kelas, tetapi juga tentang mempersiapkan individu untuk menghadapi tantangan dunia nyata.

Ivan Illich, seorang kritikus pendidikan kontroversial, menyuarakan konsep "deschooling society" di mana dia menantang eksistensi institusi sekolah konvensional. Meskipun pandangan Illich mungkin kontroversial, dia memberikan kontribusi pada pemikiran kritis tentang bagaimana pendidikan seharusnya membebaskan, bukan menghambat.

Namun, untuk membawa perspektif yang seimbang, kita perlu mempertimbangkan dampak teknologi dan globalisasi terhadap pendidikan. Filsuf seperti Ken Robinson menekankan pentingnya menciptakan sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan abad ke-21, di mana kreativitas, inovasi, dan keterampilan adaptasi menjadi kunci keberhasilan

Melarang orang miskin sekolah akan menyebabkan kehilangan potensi berharga bagi perkembangan masyarakat. Setiap individu, tanpa memandang latar belakang ekonomi, memiliki kontribusi yang dapat diberikan kepada masyarakat. Menghambat akses pendidikan bagi orang miskin bukan hanya melukai individu secara pribadi, tetapi juga merugikan perkembangan sosial secara keseluruhan.

Dalam mengatasi tantangan ini, perlu ada upaya serius untuk merombak sistem pendidikan yang tidak adil dan mendiskriminasi. Mendengarkan dan menerapkan pandangan filsuf pendidikan yang mencurahkan perhatian pada kesetaraan dan pembebasan adalah langkah awal menuju perubahan positif. Jangan biarkan slogan "Orang Miskin Dilarang Sekolah" menjadi kenyataan yang merugikan kita semua.

Pemerintahan seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengahadapi persoalan ini, agar kelak tidak ada lagi ketidaksetaraan dalam mengakses pendidikan. Dalam aturan perundang-undangan nomor 23 tahun 2002 pasal 9  ayat 1 jelas setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan pengajarannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Namun orientasi untuk melaksanakan akses pendidikan terombang-ambing oleh pemerintah yang masih dipenuhi kapitalisme, pada akhirnya orang miskin dilarang sekolah.

Banyak di kalangan anak yang tak mampu mengakses pendidikan yang baik, memutuskan pendidikan mereka demi kepentingan hidupnya. Rela mengorbankan dirinya untuk tidak sekolah demi sesuap nasi untuk dia makan, tapi malah pendidikan kita masih di penuhi dengan sistem pendidikan yang mengecewakan, dimana anak-anak hanya mampu belajar seadaanya. Namun mereka di paksa untuk membeli produk buku yang tak bisa di beli untuk para orang miskin yang tak mampu mendapatkan buku yang di perjualbelikan oleh pihak pendidik.

Ini menandakan bahwa sistem pendidikan kita harus melakukan revisi terhadap pendidikan seorang anak, untuk memudahkan setiap anak yang miskin untuk mendapatkan akses pendidikan yang setara Seperti yang di gagas oleh Paulo Fereire pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang arahnya jelas untuk memerdekakan anak untuk mengakses pendidikan mereka, agar tidak ada lagi kesenjangan sosial yang terjadi di sekolah-sekolah pada umumnya.

Dalam sekolah, Kesenjangan sosial terjadi akibat terjadinya beberapa kelompok yang menganggap bahwa mereka berbeda kelas dalam perkara ekonomi, kita dapat lihat salah satu contoh kecil dalam sekolah, tentang pemberian rangking pada penerimaan rapor. Ini sebenarnya bisa menjadi pemicu bahwa mereka berbeda dengan yang lain. Pada akhirnya mereka enggan untuk berteman dengan orang-orang yang tidak sepadan dengan mereka, ini juga bisa menjadi pemicu terjadinya kesenjangan di lingkungan sekolah, sehingga jika di biarkan dengan sistem seperti ini bisa berakibat fatal terhadap lingkungan sosial antar siswa, baik dari segi intelektual sampai pada ekonomi mereka. Akhirnya orang miskin termarjinalkan dalam lingkungan sosial di sekolah.

Penulis: Kim