Kembali

Pura-pura Bahagia: Beban Emosional dalam Lingkungan yang Toksik

85
M. Abil Arqam
30 Maret 2025

Saya selalu tertarik dengan konsep kebahagiaan dalam tradisi Yunani kuno— eudaimonia, yang seringkali diartikan sebagai kebahagiaan sejati, kondisi jiwa yang baik, atau keadaan yang bahagia. Berbeda dengan kebahagiaan hedonistik yang menekankan pada kesenangan dan kepuasan sesaat. Eudaimonia lebih menekankan pada makna hidup sejati. Namun saya bertanya-tanya, bagaimana dengan "bahagia" yang kita kenal saat ini? 

Dalam realitas sosial kita saat ini, yang saya perhatikan dan mungkin kita semua sadari, kebahagiaan seringkali hanya menjadi sesuatu yang ditampilkan semata, atau mungkin lebih tepatnya berusaha ditampilkan, bukan lagi menjadi sesuatu yang benar-benar dirasakan. Fenomena ini dikenal sebagai "toxic positivity", suatu keadaan dimana tekanan sosial memaksa kita untuk selalu terlihat bahagia dan optimis dan mengabaikan emosi negatif.

Bagaimana energi kita habis hanya untuk pura-pura bahagia?

Hampir setiap hari, saya atau mungkin juga kita semua seringkali pura-pura bahagia. Saya menghadapi berbagai interaksi sosial yang memaksa saya menampilkan ekspresi kebahagiaan, seolah merasa senang meski sebenarnya tidak demikian. Dari basa-basi yang membosankan bahkan mungkin memuakkan, candaan yang menyakiti hati, hingga berbagai pertanyaan yang membuat saya terpaksa tersenyum demi menjaga keharmonisan.

Saya melihat bahwa lingkungan toksik yang memaksa kita banyak berpura-pura semakin sulit dihindari. Dalam lingkaran pertemanan, tempat kerja, maupun keluarga, semuanya memaksa kita berpura-pura. Dalam lingkup pertemanan misalnya, kadang dengan berat hati saya hanya bisa diam dan atau sedikit tersenyum bila seseorang dipanggil anjing atau sapaan kasar lainnya. Meski yang dianjingkan itu bukan saya, saya tetap tidak suka mendengarnya. Atau juga kala menghadapi candaan yang tidak mengenakkan yang dikemas sebagai "jokes". Selalu saja saya berpura-pura bisa menerimanya. Hanya karena supaya dianggap sefrekuensi, hanya untuk bisa berteman? Anjing betull

Kepada siapa saja yang masih menganggap pertemanan sebagai suatu yang berharga. Saya ingin katakan bahwa tulisan ini adalah sebentuk ungkapan yang sulit saya utarakan, karena sepertinya saya atau juga kita semua telah menjadi ahli dalam berpura-pura. Namun bila ada yang memaksa untuk mengerti, dan sanggup memahami maksud dari tulisan ini, berarti ia juga handal dalam berpura-pura. Maka saran saya, berhentilah berpura-pura. Untuk apa mempertahankan lingkungan yang terus menerus melukai diri dan memaksa pura-pura tersenyum.?

Dari waktu ke waktu saya terus memendam apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan, berusaha terlihat baik-baik saja, berusaha terlihat bisa menerima sesuatu yang sebenarnya tidak mengenakkan. Apakah hanya saya? Barangkali kau juga. Lalu berapa banyak lagi yang mesti kita pendam hanya untuk menyakiti diri sendiri? Amarah, ketidaksukaan, cemburu, rindu, cinta? Sungguh kasihan!

Mengapa orang-orang begitu mudahnya melontarkan umpatan dan kebencian, tetapi sulit sekali untuk mengungkapkan cinta?

Oh iya, satu hal lagi yang membuat saya muak dan kecewa, yang menurut saya banyak kepura-puraan di dalamnya. Saat negara menyumbat mulut orang-orang miskin agar tidak protes dengan kebijakan yang tidak pro rakyat itu dengan bansos. Dipaksa terlihat senang dan bahagia menerima kebijakan, dihibur dengan bansos, atau pemberian jabatan atau duta-dutaan. Dan yang menambah rasa kecewa adalah saat saya membahas hal ini dengan teman-teman setongkrongan yang isinya orang-orang berpendidikan tinggi dan mereka abai, menganggap pembahasan ini terlalu berat. Lalu mereka lebih memilih berjoget joget di tiktok. 

Negera memang memperparah kepura-puraan kita. Memaksa orang-orang miskin untuk joget di tiktok supaya dapat uang karena tambahan lapangan pekerjaan yang dijanjikan ternyata untuk tentara dan polisi. Apa kau benar-benar bahagia dengan itu semua?

Alih-alih terus berpura-pura bahagia, mungkin sudah saatnya kita mengalihkan energi untuk hal yang lebih bermakna. Daripada terjebak dalam kepalsuan sosial, mengapa tidak menggunakan energi itu untuk memperjuangkan sesuatu yang lebih besar? Berhentilah menjadi bagian dari sistem yang menekan, dan mulailah menyuarakan apa yang benar-benar dirasakan. Berhentilah joget joget di tiktok dan menikmati ilusi kebahagiaanmu itu!!!

Refleksi Akhir

Jika kamu bahagia dan teringat seseorang, artinya kamu mencintai orang itu. Jika kamu bersedih dan teringat seseorang, artinya orang itu mencintaimu. ~Ali bin Abi Thalib 

Jadi, selain orang tuamu, siapa lagi yang mencintaimu? Siapa lagi yang tulus untukmu? Apakah itu temanmu, rekan kerjamu, keluargamu, semua orang yang toksik itu?

Semoga permintaan maaf dan maaf yang kita berikan di momen lebaran ini bukan kepura-puraan. Semoga senyum yang kita berikan kala menghadapi pertanyaan kapan ini? Kapan itu? Juga bukan anuu...

Sehat-sehat lah hidup di negeri yang sakit ini. Kuat-kuatlah menghadapi lingkungan toksik yang tidak bisa kau hindari. 

Terakhir, saya mengutip Che Guevara dalam surat terakhirnya, "Jika ada dari kata-kata ini yang telah menggetarkan hatimu, berarti ada sesuatu yang telah diubahnya". Kupeluk kalian dengan kasih dan sayangku, sehat dan bahagia lah selalu, semoga hal baik selalu membersamai.🌹


Penulis: M. Abil Arqam