Teror
Aku ditemukan tanpa kepala.
“Suami saya hilang, Pak.” Ketabahan istriku runtuh dalam suara yang terbata-bata dan isak tangis yang pecah ketika melaporkan kehilanganku.
*
Aku mulai mengingat-ingat kembali sudah berapa lama aku terpisah dari kepalaku. Dua hari? Tiga? Atau empat? Mungkin telah empat hari lamanya.
Kembali membayang dalam benakku ketika sekelompok pria itu mulai memotong-motong tubuhku. Aku marah. Geram, lebih tepatnya. Tidak cukupkah bagi mereka melenyapkan nyawaku tanpa peradilan?! Tanpa pembelaan? Lalu, kini mereka memisahkan juga aku dari kepalaku. Sialan!
Tubuhku, sesosok tubuh pria usia paruh baya, mereka potong-potong menjadi sebelas bagian. Ya, aku ingat betul. Menjadi sebelas bagian. Pada sendi-sendi yang mana mereka melakukan pemotongan, tentu kau bisa menduga sendiri. Dan kini, di antara potongan-potongan tubuhku ini, aku tidak bisa menemukan kepalaku.
*
Aku rindu istriku. Tiba-tiba saja. Jika sudah begini, aku tidak tahu apakah aku menyesal sebab telah melakukan semua hal yang harus kulakukan atau tidak.
“Kamu ini kerja untuk keluarga, Mas. Kerja untuk menghidupi keluarga kita, aku, kamu, dan anak-anak”, petuah istriku.
“Iya”.
“Ikut kata atasan, biar selamat”.
Tidak ada yang bisa kubantah dari perkataan istriku itu. Bukan karena perempuan selalu benar, melainkan karena semua yang dikatakannya memang masuk akal. Menjadi pegawai pemerintahan yang biasa-biasa saja, dan hidup dengan bahagia bersama keluarga. Semuanya tentu mudah untuk dilakukan jika saja...
*
Kantor gempar. Seorang pegawai kantor kami mengalami musibah. Ia tidak mati, alhamdulillah, tapi, pemberitaan tentang musibah yang menimpanya tersebar secara nasional.
“Itu benar kalau Pak N dapat celaka?!” seru seorang kawan.
“Keparat betul pelakunya!” Seru yang lain.
Suara-suara beterbangan di udara menciptakan keriuhan. Keadaan lobi kantor tak pernah seramai ini sebelumnya.
Aku celingak-celinguk mencari sumber yang dapat dipercaya. Ah, itu dia! Yunadi kebetulan mendekat menghampiriku.
“Celaka, Pak!”, kata Yunadi. Kalimat pembukaannya yang tanpa basa-basi langsung membuatku khawatir.
“Celaka bagaimana?”
“Pak N kena siram air keras, Pak. Kena matanya!” Kengerian terlihat jelas di wajah Yunadi.
Aku tahu apa yang sedang dikerjakan oleh N. Pengusutan kasus korupsi yang mengarah pada seorang pejabat tinggi. Di satu sisi aku geram ia dapat celaka. Di sisi yang lain, aku bersyukur ia tidak mati. Ini baru permulaan. Apa yang menimpa N adalah peringatan terbuka untuk tidak macam-macam.
Sepanjang hari itu, aku resah bukan main. Tubuh dan kesadaran berpikirku kurasai tidak dalam satu kesatuan yang utuh. Peristiwa ini mencekam. Harus kuakui bahwa aku ketakutan.
*
Aku tiba di rumah. Aku menyadari bahwa istriku tahu apa yang terjadi, dan ia belum memutuskan untuk bersuara. Keheningan ini benar-benar tidak nyaman.
“Mas,” istriku memecah keheningan.
Aku menenggak habis air putihku ketika kurasakan sentuhannya pada tanganku. Aku menunggu kalimat-kalimat selanjutnya, tapi tak pernah ada. Keadaan ini tidak mengenakkan. Bahkan, ocehan istriku pun membeku dibuatnya.
Diam di mulut istriku adalah keheningan yang kurasai lebih menakutkan daripada seluruh ocehannya selama ini. Bibirnya diam, terkatup. Namun, matanya, oh Tuhan! Dia yang tidak mampu mengutarakan semua resah hatinya dalam kata-kata, kini menyalurkan semua emosi itu dalam tatapan matanya. Dalam bahasa tanpa kata-kata yang kami bangun bersama sebagai pasangan. Bagaimana kami akan bisa melanjutkan hidup tanpa satu sama lain, Tuhan?!
Esoknya, suasana di kantor tidak jauh berbeda. Ponsel di sakuku bergetar. Sebuah pesan pendek muncul di layar.
Ketemu di tempat biasa, malam ini.
Aku sadar dengan sangat sadar bahwa ketakutanku akan teror yang menimpa N sungguh beralasan. Aku tahu apa yang sedang N kerjakan dan sejauh mana pekerjaannya. Risiko pekerjaannya tidak jauh berbeda denganku, dengan kami berlima. Dalam pekerjaan kami, semakin baik kami bekerja, semakin dekat kami pada kebenaran, maka semakin dekat pula kami pada kemalangan. Ancaman pada keselamatan kami dan keluarga selalu menjadi taruhannya. Dan teror siraman air keras pada N tempo hari serupa tabuhan genderang perang. Pertemuan malam ini tentu sangat penting untuk dilakukan.
*
“Biadab!! Dalang penyiraman itu harus ditangkap. Harus!”
Pak J mengawali pertemuan kami dengan sumpah serapah. Aku masih tidak bisa menghilangkan kegusaran hatiku. Bagaimanapun, kami berlima yang hadir di sini bisa saja bernasib nahas seperti N, atau bahkan lebih buruk lagi.
“Penyelidikan N mengarah pada seorang menteri kabinet.” Suaraku datar. Kuusahakan untuk tampak setenang mungkin. Pernyataanku mengambang lepas. Bebas. Beberapa wajah yang mendengarnya terkejut. Masing-masing diri berusaha untuk tidak bereaksi berlebihan. Pencarian kebenaran dan penegakan keadilan memang tak jarang membawa pada fakta-fakta yang mengejutkan.
Pak J mencoba meyakinkan kami untuk tidak menyerah. Untuk tidak tunduk pada persekongkolan jahat. Untuk tidak melempem di hadapan kekuasaan. Tapi, semua orang menyadari bahwa kelompok kami sangat mungkin telah dijadikan target. Tinggal tunggu tanggal mainnya.
Pak J jelas-jelas menyadari ini. Sebulan yang lalu, akun media sosial dan aplikasi pesan singkatnya diretas. Kami mafhum seketika. Dua peristiwa teror ini berkaitan, walau entah bagaimana benang merahnya terhubung.
Aku pulang dengan perasaan gundah. Keresahanku tidak berkurang. Aku turun dari taksi cukup jauh dari rumahku. Aku sedang ingin jalan kaki malam ini. Pukul satu dini hari dan sepanjang bulan ini aku telah pulang larut hampir setiap hari.
“Huft..,” aku menghela napas. Pikiranku masih melayang entah ke mana.
Lalu, semuanya terjadi begitu cepat tepat sebelum aku berbelok ke arah lorong komplek rumahku. Sekelompok laki-laki tegap turun dari mobil mengepungku, lalu sentakan seperti sengatan listrik mengaliri seluruh tubuhku. Aku tidak ingat apa-apa lagi.
Hari ini, empat hari berselang, aku ditemukan teronggok mengenaskan dalam plastik sampah warna hitam di depan gedung Merah Putih tempatku bekerja, dalam keadaan termutilasi dan membengkak. Mungkin juga sangat berbau busuk.
Teror yang ketiga itu ternyata menyasarku. Selesai sudah aku, hidupku, pekerjaanku. Semuanya. Kuharap istriku bisa mengenali potongan tubuhku. Sementara aku masih harus menemukan kepalaku yang entah ada di mana.
Maafkan aku, Sayang. Kau berduka secepat ini untukku.
@gelandangan_jagadraya
Penulis: Ale
