Kembali

Udah Lulus Masih Ngatur? Alumni yang Meracuni Organisasi Kampus

160
Kim
18 September 2025

Oleh: Kim

Menjadi mahasiswa bukan sekadar melanjutkan status baru setelah lulus dari sekolah menengah. Peralihan ini adalah sebuah loncatan yang menuntut penyesuaian drastis, dari ruang kelas yang serba teratur menuju dunia kampus yang penuh kebebasan sekaligus kerumitan. Mahasiswa baru dituntut segera memahami hal-hal yang asing. Mulai dari pengisian kartu rencana studi, pengenalan ruang kuliah, pengenalan fakultas dan program studi, hingga aturan tak tertulis yang mengikat kehidupan kampus.

    Di titik inilah peran senior menjadi penting, atau setidaknya tampak penting. Dengan dalih membantu, para mahasiswa lama hadir sebagai“pemandu” bagi yang baru. Interaksi ini kerap dianggap wajar, padahal sesungguhnya ia dibentuk oleh sebuah mekanisme sosial yang lebih besar; kebutuhan organisasi untuk terus bertahan. Sebab dalam setiap organisasi mahasiswa, kaderisasi adalah hukum yang tidak tertulis: tanpa perekrutan, roda kepengurusan akan mati. Maka, bantuan senior tidak sepenuhnya netral—ia selalu menyimpan tujuan kedepannya yaitu regenerasi.

    Namun, masalah yang lebih pelik justru muncul bukan pada mahasiswa baru maupun mahasiswa yang lama, melainkan pada mereka yang sudah selesai kuliah atau biasa di sebut sebagai alumni. Ironisnya, banyak alumni tetap menggenggam erat identitas organisasi seakan status kelulusan tidak pernah benar-benar memutus ikatan. Padahal  dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), alumni didefinisikan sebagai: "Lulusan atau bekas pelajar dari suatu perguruan tinggi atau sekolah tertentu. Rektorat mungkin menutup hubungan formal mereka dengan kampus, tetapi organisasi kemahasiswaan selalu menyediakan pintu masuk. Kehadiran para alumni dalam kegiatan mahasiswa seakan menegaskan satu hal: kampus, bagi sebagian orang, bukan hanya tempat singgah, melainkan candu yang sulit dilepaskan.

    Fenomena tersebut menjadi polemik penulis saat ini, dengan pengalamannya di salah satu organisasi kemahasiswaan kampus ternama di Polewali Mandar. Penulis melihat fenomena tersebut hingga saat ini menunjukkan bahwa dominasi alumni dalam kegiatan kemahasiswaan organisasi kampus sering kali bukan sekadar bimbingan, melainkan telah berevolusi menjadi struktur hegemoni yang mapan dengan pengambilalihan kegiatan, bahkan tanpa mereka sadari sudah mengambil alih kepengurusan. Mereka hadir dengan mengetengahkan pengalaman dan prestasi, sebuah tindakan yang secara lahiriah terpuji, tetapi secara esensial merusak. 

    Alasan mereka sederhana, kata“mendidik” sering dipakai sebagai legitimasi. Namun, pendidikan sejati bukanlah pengambilalihan kebebasan, melainkan pemberian ruang untuk mencoba, gagal, lalu belajar kembali. Mahasiswa tanpa kebebasan bereksperimen hanyalah “siswa dewasa”yang patuh, tapi tidak kritis. Padahal, keberadaan mahasiswa secara ontologis menuntut kebebasan berpikir dalam berorganisasi.

    Seorang alumni harus menjadi sosok intelektual yang memiliki pengetahuan mendalam, kemampuan berpikir kritis, dan kepekaan untuk menganalisis secara jernih. Namun, realitas berbicara lain. Sebagian alumni gagal memahami peran mereka dalam organisasi kemahasiswaan, sehingga menjadi figur yang ingin terus berada di tempat itu. Menuntut penghormatan, merasa pintar dan hebat, namun itu hanyalah perasaan mereka.  Pada dasarnya mereka miskin intelektual.

    Dalam setiap kegiatan kemahasiswaan, tidak jarang pengurus organisasi memberikan ruang bagi para alumni untuk hadir. Pada momen seperti ini, kerap Penulis dapati alumni-alumni  yang hadir untuk memamerkan kehebatan diri mereka. Dalam sebuah kegiatan yang pernah penulis alami secara langsung, yaitu Pendidikan Dasar (Diksar) Unit Kegiatan Mahasiawa (UKM) KSR PMI, Penulis mendapati bagaimana alumni yang sudah lulus masih berusaha menguasai dinamika kegiatan tersebut. 

    Saat itu, Penulis masih menjadi pengurus UKM KSR PMI. Alih-alih memberi ruang belajar bagi kami, justru ada alumni (sebut saja oknum) yang sibuk merecoki jalannya kegiatan. Ia tidak hanya memberi saran, tetapi ikut campur dalam hal-hal teknis: mulai dari divisi acara, perlengkapan, bahkan sampai mengurus keuangan sebagai bendahara kegiatan. Akibatnya, kami yang seharusnya belajar dan bertanggung jawab malah tersisih, hanya menjadi penonton di panggung yang mestinya milik kami sendiri.

    Ironisnya, setelah bertahun-tahun lulus, fenomena ini justru semakin parah. Jika dulu hanya ada satu oknum, kini jumlahnya berlipat. Mereka bahkan berani mengatur hingga ke organisasi internal kampus seperti himpunan mahasiswa. Keterlibatan yang kelewat batas ini jelas bukan bentuk kepedulian, melainkan perampasan hak belajar mahasiswa. Alih-alih membangun, mereka justru merusak. Dari sini dapat di lihat letak kerapuhan kebebasan berfikir. Ketika para alumni, alih-alih membimbing, malah menghambat pertumbuhan generasi baru. Akibatnya, dinamika kemahasiswaan yang seharusnya penuh semangat dan kreativitas menjadi terhambat, terbelenggu oleh dominasi yang merampas kebebasan berpikirnya.

    Yang memperparah situasi ini adalah bahwa hegemoni tersebut tidak disadari. Alumni melakukannya dengan dalih persaudaraan dan transfer pengetahuan, sementara mahasiswa sebagai junior menerimanya sebagai sebuah norma yang tidak boleh digugat. Relasi yang seharusnya setara dan saling memberdayakan ini pun bergeser menjadi hubungan yang timpang. Pada akhirnya, yang terjadi adalah pembodohan sistematis; sebuah kondisi dimana otoritas pengetahuan disalahgunakan untuk melanggengkan dominasi, mematikan kritik, dan pada gilirannya, merusak fondasi kebebasan berpikir dimana ini adalah nilai paling fundamental dalam dunia kemahasiswaan.

    Menurut Immanuel Kant, akal budi manusia hanya berkembang ketika diberi ruang untuk menanya, meragukan, dan membentuk pemikiran secara mandiri. Sedangkan Russell percaya bahwa kebebasan berpikir bukan hanya hak, tetapi juga tanggung jawab moral. Dalam pandangannya, seperti yang ia ungkapkan di berbagai karya, tanpa kebebasan untuk mempertanyakan dan menganalisis, manusia akan terjebak dalam stagnasi intelektual dan penindasan.

    Dalam kampus, kebebasan adalah hak setiap mahasiswa sebagai junior untuk menjelajahi ide-ide mereka tanpa tekanan atau paksaan. Alumni sebagai sosok yang lebih berpengalaman, seharusnya menjadi pemandu yang mendorong untuk menemukan jati diri mereka, bukan komandan yang memaksakan kehendak dalam setiap kegiatannya. Akibatnya, dinamika sebagai seorang mahasiswa dirusak oleh dominasi yang mengekang kebebasan berpikir.

    Seorang alumni yang baik mestinya membimbing, bukan mengendalikan. Mereka seharusnya mendorong junior untuk bebas menentukan arah, belajar dari kegagalan, dan menemukan jati diri sebagai seorang yang ingin mengembangkan intelektualnya. Kesetiaan buta tidak pernah melahirkan kebijaksanaan; seharusnya yang dibutuhkan justru ruang untuk berpikir, berbuat, dan berkembang. Jika mereka sudah bukan mahasiswa, secara logis mereka tidak lagi memiliki otoritas organik dalam dinamika kampus. Kehadiran mereka mungkin dihargai sejauh memberi nasihat atau teladan, tetapi tidak untuk menguasai arah pergerakan dan kegiatan mahasiswa.

    Maka, tugas mereka yang sudah lulus bukan lagi mengatur, melainkan menjadi fasilitator atau saksi: hadir ketika diminta, berbagi pengalaman ketika diperlukan, dan selebihnya membiarkan mahasiswa membangun jalannya sendiri. Di situlah letak keindahan organisasi di dunia kampus—tempat kebebasan, keberanian, dan tanggung jawab demi melahirkan mahasiswa yang merdeka.

Penulis: Kim