17+

Tulisan ini mungkin mengandung konten sensitif yang tidak cocok untuk anak-anak.

Tekan untuk melanjutkan.

Kembali

Ulasan Buku Ronggeng Dukuh Paruk

21
Ale
12 November 2024

 

Oleh Ale
Kehidupan orang-orang biasa. Sangat biasa. Jikapun kata “biasa” harus dijabarkan, anggap saja “orang biasa” berarti orang miskin.


Buku ini adalah penantian panjang untuk ditemukan. Butuh tujuh tahun pencarian untuk bisa membacanya secara percuma. Pertama kali membaca karya Ahmad Tohari adalah melalui buku Senyum Karyamin. Lalu berlanjut pada buku-buku lainnya yang bisa dibaca secara gratis di Ipusnas.

Ronggeng Dukuh Paruk, baru kutemukan tahun ini. Dan seperti karya-karya Ahmad Tohari yang lain, ia bercerita tentang kehidupan orang-orang biasa. Sangat biasa. Jikapun kata “biasa” harus dijabarkan, anggap saja “orang biasa” berarti orang miskin.

Buku ini menceritakan kehidupan sebuah pedukuhan alias kampung, yang bernama Dukuh Paruk. Kampung kecil ini terletak di tengah-tengah persawahan, terdiri dari 23 rumah dan yang kesemuanya bisa ditelusuri sebagai anak-cucu Ki Secamenggala, seorang mantan bromocorah yang menjadi nenek moyang dan yang makamnya menjadi pusat spiritualitas masyarakat Dukuh Paruk.

Di antara sedikit penghuni Dukuh Paruk, buku ini mengambil fokus pada kehidupan anak-anak Dukuh Paruk bernama Srintil dan Rasus. Kedua karakter ini menjadi tokoh utama dalam novel. Bagaimana kehidupan sebagai “orang biasa” digambarkan melalui pergulatan batin kedua tokoh ini.

Setelah membaca beberapa novel karya Ahmad Tohari, aku menyadari satu hal. Dalam banyak cerita-cerita itu, Ahmad Tohari senantiasa menyajikan sudut pandang dari orang-orang yang tak punya kuasa. Mereka- orang-orang yang kebetulan saja berada dalam peristiwa itu. Seperti orang-orang yang tidak punya kuasa untuk mengubah nasib, atau bahkan mereka adalah orang-orang yang sebenarnya tidak tahu apa yang tengah terjadi. Ronggeng Dukuh Paruk pun demikian adanya.

Ada dua hal yang ingin kusoroti dalam novel ini, yaitu konsep moral dan tumbal politik.

Sesuai dengan judulnya, Ronggeng Dukuh Paruk, menceritakan tentang ronggeng. Ronggeng, bagi masyarakat Dukuh Paruk adalah nyawa. Ia adalah ruh kehidupan di pedukuhan tersebut. Tanpa ronggeng, Dukuh Paruk bukanlah Dukuh Paruk.

Srintil memiliki bakat alamiah sebagai seorang ronggeng. Ia kerasukan roh indang ronggeng, begitu para tetua kampung menyebut bakat Srintil. Ronggeng- sebagai tradisi, adalah seumpama kesenian. Seorang perempuan menari di tengah panggung diiringi lantunan musik calung dan gendang. Berbeda dengan kesenian tari-tarian yang lain, ronggeng mengandung unsur erotisme. Namun, bagi orang-orang Dukuh Paruk, ronggeng adalah hiburan yang tidak punya sisi untuk dicela. Bagi Srintil dan kelompok ronggengnya, meronggeng berarti bekerja.

Srintil berusia sebelas tahun ketika menjalani proses bukak klambu. Sebuah proses yang secara sederhana bermakna lelang keperawanan. Srintil harus tidur dengan siapapun lelaki yang datang dengan bayaran sesuai yang telah ditetapkan oleh Ki Kertajaya sebelumnya. Ki Kertajaya dan Nyai Kertajaya adalah induk semang Srintil. Mereka mengerti seluk beluk ronggeng, sebab Nyai Kertajaya pun dulunya seorang ronggeng. Sayang, ronggeng yang tidak laku.

Srintil kecil bercita-cita menjadi ronggeng, dan begitu senang ketika impiannya tercapai. Namun, menjadi ronggeng bukan berarti tanpa bayaran. Ronggeng memiliki satu makna yang jelas, bahwa ia adalah perempuan milik umum. Ronggeng tidak bersetia kepada satu lelaki, melainkan bersetia kepada siapapun lelaki yang datang dengan uang di tangannya. Iya, ronggeng selain menghibur di atas panggung, ia juga menghibur di bilik-bilik kelambu. Benar! Ronggeng tak ubahnya seorang pelacur.

Namun, bagi masyarakat Dukuh Paruk, pekerjaan Srintil sebagai ronggeng yang menghibur lelaki, bukanlah pekerjaan yang dicela. Masyarakat Dukuh Paruk merasa wajar saja dengan praktik pekerjaan yang seperti itu. Satu-satunya lelaki yang tidak bisa menerima pekerjaan Srintil adalah Rasus. Sebab ia mencintai Srintil, dan ia tak ingin Srintil menjadi milik umum.

Rasus yang patah hati, memutuskan meninggalkan Dukuh Paruk dan hidup di pasar di pusat kota kecamatan. Di sinilah Rasus mengalami perbedaan konsep moral kesusilaan. Rasus pernah mencubit pipi seorang gadis yang menurutnya sangat lucu dan itu membuat si Gadis marah. Rasus terheran-heran mengapa gadis itu begitu marah. Rasus kemudian diingatkan oleh pedagang-pedagang pasar bahwa tidak semua perempuan bisa dipegang sembarangan. “Jangan samakan di sini dengan di Dukuh Paruk”, begitu kira-kira makna ucapan mereka.

Bagi orang-orang di luar Dukuh Paruk, ronggeng adalah pelacur. Perempuan yang bisa dibayar untuk dinikmati. Sedangkan bagi orang-orang Dukuh Paruk, bagaimanapun aktivitas mereka dihukumi tidak bermoral, meronggeng mengandung nilai sebagai tradisi dan pekerjaan. Semakin banyak undangan yang datang, semakin sejahtera juga mereka.

Kelompok kesenian ronggeng Dukuh Paruk cukup terkenal. Mereka kerap diundang untuk meramaikan acara-acara di kota kecamatan. Di sinilah mereka kemudian ditumbalkan. Kesenian ronggeng diundang untuk kemudian dimanfaatkan sebagai penarik massa. Buku ini mengambil latar tahun 1940-an hingga tahun 1960-an ketika konflik nasionalis versus komunis terjadi.

Kelompok ronggeng Srintil diundang untuk meramaikan acara pertemuan akbar di lapangan kecamatan yang dipenuhi warna merah. Srintil dan orang-orang Dukuh Paruk yang buta aksara dan buta politik tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka diundang untuk bekerja. Pun ketika kampung mereka dipasangi atribut partai berwarna merah, mereka menerima saja. Orang-orang Dukuh Paruk begitu sangat penakut kepada orang-orang yang punya kekuasaan, atau siapapun yang bekerja kepada pemerintah. Orang-orang partai juga termasuk ke dalamnya. Orang-orang seperti itu adalah priyayi, begitu julukan mereka.

Karena kedekatan orang-orang partai merah dengan kelompok kesenian ronggeng itulah sehingga ketika anggota partai merah dikejar untuk dihabisi, anggota kelompok ronggeng pun tidak luput dari pengejaran. Srintil ditahan selama dua tahun, dan tak seorang pun orang Dukuh Paruk mengetahui keberadaannya saat itu. Pun setelah ditahan, ia dikenakan wajib lapor.

Inilah ciri khas tulisan Ahmad Tohari. Ia senantiasa bercerita tentang orang-orang biasa. Orang-orang yang tidak kuasa mengubah nasibnya. Orang-orang yang terjepit di tengah konflik besar tanpa mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang kecil yang dengan mudahnya menyebut orang lain yang berkuasa sebagai priyayi, dan memaksa diri mereka menerima nasib. Sebagaimana falsafah Jawa rimo ing pandum, orang-orang kecil ini dipaksa oleh nasib bahwa apapun penderitaan yang hidup berikan kepada mereka, memang sudah seharusnya demikian. Dan mereka hanya harus menjalaninya saja. Sungguh sebuah filosofi hidup yang kadang menyebalkan.

Lantas, bagaimana kisah Srintil dan Rasus selanjutnya? Baca langsung bukunya saja ya!


Sumber : Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, 1982

 

Polewali Mandar, Juli-Agustus 2024


            eksplisit@gelandangan_jagadraya
            Penulis: Ale