Ulasan Buku Ronggeng Dukuh Paruk
![]() |
| Oleh Ale Kehidupan orang-orang biasa. Sangat biasa. Jikapun kata “biasa” harus dijabarkan, anggap saja “orang biasa” berarti orang miskin. |
Buku ini adalah penantian
panjang untuk ditemukan. Butuh tujuh tahun pencarian untuk bisa membacanya
secara percuma. Pertama kali membaca karya Ahmad Tohari adalah melalui buku
Senyum Karyamin. Lalu berlanjut pada buku-buku lainnya yang bisa dibaca secara
gratis di Ipusnas.
Ronggeng Dukuh Paruk, baru
kutemukan tahun ini. Dan seperti karya-karya Ahmad Tohari yang lain, ia
bercerita tentang kehidupan orang-orang biasa. Sangat biasa. Jikapun kata
“biasa” harus dijabarkan, anggap saja “orang biasa” berarti orang miskin.
Buku ini menceritakan
kehidupan sebuah pedukuhan alias kampung, yang bernama Dukuh Paruk. Kampung
kecil ini terletak di tengah-tengah persawahan, terdiri dari 23 rumah dan yang
kesemuanya bisa ditelusuri sebagai anak-cucu Ki Secamenggala, seorang mantan
bromocorah yang menjadi nenek moyang dan yang makamnya menjadi pusat
spiritualitas masyarakat Dukuh Paruk.
Di antara sedikit penghuni
Dukuh Paruk, buku ini mengambil fokus pada kehidupan anak-anak Dukuh Paruk
bernama Srintil dan Rasus. Kedua karakter ini menjadi tokoh utama dalam novel.
Bagaimana kehidupan sebagai “orang biasa” digambarkan melalui pergulatan batin
kedua tokoh ini.
Setelah membaca beberapa novel
karya Ahmad Tohari, aku menyadari satu hal. Dalam banyak cerita-cerita itu,
Ahmad Tohari senantiasa menyajikan sudut pandang dari orang-orang yang tak
punya kuasa. Mereka- orang-orang yang kebetulan saja berada dalam peristiwa itu.
Seperti orang-orang yang tidak punya kuasa untuk mengubah nasib, atau bahkan
mereka adalah orang-orang yang sebenarnya tidak tahu apa yang tengah terjadi.
Ronggeng Dukuh Paruk pun demikian adanya.
Ada dua hal yang ingin
kusoroti dalam novel ini, yaitu konsep moral dan tumbal politik.
Sesuai dengan judulnya,
Ronggeng Dukuh Paruk, menceritakan tentang ronggeng. Ronggeng, bagi masyarakat
Dukuh Paruk adalah nyawa. Ia adalah ruh kehidupan di pedukuhan tersebut. Tanpa
ronggeng, Dukuh Paruk bukanlah Dukuh Paruk.
Srintil memiliki bakat alamiah
sebagai seorang ronggeng. Ia kerasukan roh
indang ronggeng, begitu para tetua kampung menyebut bakat Srintil.
Ronggeng- sebagai tradisi, adalah seumpama kesenian. Seorang perempuan menari
di tengah panggung diiringi lantunan musik calung dan gendang. Berbeda dengan
kesenian tari-tarian yang lain, ronggeng mengandung unsur erotisme. Namun, bagi
orang-orang Dukuh Paruk, ronggeng adalah hiburan yang tidak punya sisi untuk
dicela. Bagi Srintil dan kelompok ronggengnya, meronggeng berarti bekerja.
Srintil berusia sebelas tahun
ketika menjalani proses bukak klambu.
Sebuah proses yang secara sederhana bermakna lelang keperawanan. Srintil harus
tidur dengan siapapun lelaki yang datang dengan bayaran sesuai yang telah
ditetapkan oleh Ki Kertajaya sebelumnya. Ki Kertajaya dan Nyai Kertajaya adalah
induk semang Srintil. Mereka mengerti seluk beluk ronggeng, sebab Nyai
Kertajaya pun dulunya seorang ronggeng. Sayang, ronggeng yang tidak laku.
Srintil kecil bercita-cita
menjadi ronggeng, dan begitu senang ketika impiannya tercapai. Namun, menjadi
ronggeng bukan berarti tanpa bayaran. Ronggeng memiliki satu makna yang jelas,
bahwa ia adalah perempuan milik umum. Ronggeng tidak bersetia kepada satu
lelaki, melainkan bersetia kepada siapapun lelaki yang datang dengan uang di
tangannya. Iya, ronggeng selain menghibur di atas panggung, ia juga menghibur
di bilik-bilik kelambu. Benar! Ronggeng tak ubahnya seorang pelacur.
Namun, bagi masyarakat Dukuh
Paruk, pekerjaan Srintil sebagai ronggeng yang menghibur lelaki, bukanlah
pekerjaan yang dicela. Masyarakat Dukuh Paruk merasa wajar saja dengan praktik
pekerjaan yang seperti itu. Satu-satunya lelaki yang tidak bisa menerima
pekerjaan Srintil adalah Rasus. Sebab ia mencintai Srintil, dan ia tak ingin
Srintil menjadi milik umum.
Rasus yang patah hati,
memutuskan meninggalkan Dukuh Paruk dan hidup di pasar di pusat kota kecamatan.
Di sinilah Rasus mengalami perbedaan konsep moral kesusilaan. Rasus pernah
mencubit pipi seorang gadis yang menurutnya sangat lucu dan itu membuat si
Gadis marah. Rasus terheran-heran mengapa gadis itu begitu marah. Rasus
kemudian diingatkan oleh pedagang-pedagang pasar bahwa tidak semua perempuan
bisa dipegang sembarangan. “Jangan samakan di sini dengan di Dukuh Paruk”,
begitu kira-kira makna ucapan mereka.
Bagi orang-orang di luar Dukuh
Paruk, ronggeng adalah pelacur. Perempuan yang bisa dibayar untuk dinikmati.
Sedangkan bagi orang-orang Dukuh Paruk, bagaimanapun aktivitas mereka dihukumi
tidak bermoral, meronggeng mengandung nilai sebagai tradisi dan pekerjaan.
Semakin banyak undangan yang datang, semakin sejahtera juga mereka.
Kelompok kesenian ronggeng
Dukuh Paruk cukup terkenal. Mereka kerap diundang untuk meramaikan acara-acara
di kota kecamatan. Di sinilah mereka kemudian ditumbalkan. Kesenian ronggeng
diundang untuk kemudian dimanfaatkan sebagai penarik massa. Buku ini mengambil
latar tahun 1940-an hingga tahun 1960-an ketika konflik nasionalis versus
komunis terjadi.
Kelompok ronggeng Srintil
diundang untuk meramaikan acara pertemuan akbar di lapangan kecamatan yang
dipenuhi warna merah. Srintil dan orang-orang Dukuh Paruk yang buta aksara dan
buta politik tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Yang mereka tahu hanyalah
bahwa mereka diundang untuk bekerja. Pun ketika kampung mereka dipasangi
atribut partai berwarna merah, mereka menerima saja. Orang-orang Dukuh Paruk
begitu sangat penakut kepada orang-orang yang punya kekuasaan, atau siapapun
yang bekerja kepada pemerintah. Orang-orang partai juga termasuk ke dalamnya.
Orang-orang seperti itu adalah priyayi,
begitu julukan mereka.
Karena kedekatan orang-orang
partai merah dengan kelompok kesenian ronggeng itulah sehingga ketika anggota
partai merah dikejar untuk dihabisi, anggota kelompok ronggeng pun tidak luput
dari pengejaran. Srintil ditahan selama dua tahun, dan tak seorang pun orang Dukuh
Paruk mengetahui keberadaannya saat itu. Pun setelah ditahan, ia dikenakan
wajib lapor.
Inilah ciri khas tulisan Ahmad
Tohari. Ia senantiasa bercerita tentang orang-orang biasa. Orang-orang yang
tidak kuasa mengubah nasibnya. Orang-orang yang terjepit di tengah konflik
besar tanpa mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang kecil yang dengan
mudahnya menyebut orang lain yang berkuasa sebagai priyayi, dan memaksa diri
mereka menerima nasib. Sebagaimana falsafah Jawa rimo ing pandum, orang-orang kecil ini dipaksa oleh nasib bahwa apapun
penderitaan yang hidup berikan kepada mereka, memang sudah seharusnya demikian.
Dan mereka hanya harus menjalaninya saja. Sungguh sebuah filosofi hidup yang
kadang menyebalkan.
Lantas, bagaimana kisah
Srintil dan Rasus selanjutnya? Baca langsung bukunya saja ya!
Sumber : Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, 1982
Polewali Mandar, Juli-Agustus 2024
@gelandangan_jagadraya
Penulis: Ale
